I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Perlindungan
tanaman seperti diketahui umum pada saat sekarang adalah sinonim dengan
penggunaan pestisida. Padahal hal ini tidak semuanya benar, karena konsep yang
demikian sudah tidak relevan lagi, karena banyak kisah klasik yang berhasil
dalam mengendalikan jasad yang kita sebut hama dengan cara melakukan
pengendalian hayati. Kesehatan tanaman adalah hal vital menyangkut berbagai
aspek. Penjagaan kesehatan tumbuhan terutama dilakukan terhadap tumbuhan yang
diusahakan, agar tidak mengalami gangguan secara eksplosif atau epidemik yang
potensial. Dari segi ekonomi, kerusakan tanaman yang disebabkan hama merupakan
ketidakmampuan tanaman untuk memberikan hasil yang cukup kualitas dan
kuantitasnya.
Perlu
diingat bahwa perlindungan tanaman tidak harus selalu dikaitkan dengan
pestisida kimiawi yang bisa mencemari lingkungan. Dalam perlindungan tanaman,
karena menyangkut suatu ekosistem pasti ada jalan keluar dalam rangka
kelangsungan semua kehidupan. Dalam
teori ekologi, bahwa kehidupan seperti layaknya lingkarang tak berujung.
Misalnya dalam peristiwa rantai makanan yang bisa kita manfaatkan dalam rangka
perlindungan tanaman pada aras keseimbangan lingkungan. Pada praktikum ini, akan dijelaskan mengenai
agensia hayati (virus, bakteri, cendawan, ricketsia, protozoa, dan nematoda) yang
merupakan musuh alami yang mampu menurunkan populasi organisme pengganggu.
B. Tujuan
Praktikum
Tujuan praktikum
ini adalah memahami jenis-jenis pengendali hayati melalui teknis morfologi dan
anatomi.
II.
TATA CARA PRAKTIKUM
Praktikum Dasar-dasar Ilmu Hama
Tanaman acara 3 yakni tentang pengenalan
Agensia Pengendali Hayati: Predator, Parasitoid, Dan Patogen yang dilaksanakan
pada hari Jumat 5 April 2013 di laboratorim Entomologi Terapan, Jurusan Ilmu
Hama dan Penyakit tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta. Bahan-bahan yang digunakan beberapa spesimen organisme agensia
pengendali hayati, baik yang berupa awetan maupun masih hidup.. Kemudian dilakukan
pengamatan morfologi, terutama tipe mulut (untuk predator), dan ukuran tubuh
(untuk parasitoid). Untuk patogen, dapat merujuk pada laman yang sudah
direkomendasikan untuk membuat deskripsi.
Preparat awetan dan hidup
predator yaitu belalang sembah, capung, kepik pemangsa ulat (Famili
Pentatomidae), kepik pemangsa ulat (Famili Reduviidae), kumbang koksi (Famili
Coccinellidae), lalat perompak (Famili Asilidae), tabuhan pemangsa ulat (Famili
Vespidae). Preparat awetan dan hidup parasitoid yaitu parasitoid telur
penggerek batang tebu, Trichogramma
spp. (Famili Trichogrammatidae); parasitoid telur penggerek batang padi Tetrastichus schoenobii (Famili
Eulophidae); parasitoid larva ulat jengkal, Cotesia
sp. (Famili Brachonidae); parasitoid pupa penggulung daun pisang, Xantopimla gamsura (Famili
Ichneumonidae); parasitoid larva penggulung daun pisang, lalat Tachinid (Famili tachinidae); parasitoid
ulat daun kubis (Plutella xylostella),
Diadegma sp. (Famili Ichneumonidae).
Preparat patogen yaitu kultur/biakan jamur Metarhizium
anisopliae; kultur/biakan jamur beauveria
bassiana; kultur/produk/biakan bakteri Bacillus
thuringiensis (Bt), contoh DIPEL; kultur/biakan virus NPV; gejala serangga
terinfeksi jamur patogen (Metarhizium
anisopliae pada uret, Beauveria
bassiana pada kepik padi, Hirsutella
sp. Pada wereng coklat); gejala serangga terinfeksi bakteri (Bacillus thuringiensis pada ulat bawang,
Bacillus popiliae pada uret); gejala
serangga terinfeksi virus (Nucleopilihidrovirus
pada ulat grayak, Granulovirus pada
ulat, Baculovirus pada uret); gejala
serangga terinfeksi nematoda (Heterorabdistis
sp. Pada uret pada Steinernema carpocapsae).
III.
HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN
Masalah
hama akan selalu muncul karena ekosistem pertanian yang kita ciptakan
memberikan keadaan yang sesuai bagi perkembangan dan kehidupan beberapa jenis tertentu.
Sebagai upaya pengendalian hayati yang menggunakan musuh alami dibagi atas tiga
kelompok besar organisme yang dapat menjadi agensia hayati sebagai berikut :
A.
Kelompok Predator/ Pemangsa
Penggunaan
serangga pengendali hayati untuk mengendalikan serangga hama tanaman merupakan
kegiatan yang sudah lama diketahui dalam sistem pertanian. Suatu contoh klasik
adalah penggunaan semut untuk mengendalikan hama pada tanaman jeruk di China.
Contoh lain adalah pengendalian hayati kutu jeruk cottony cushion di California
pada tahun 1880-an dengan menggunakan parasitoid dan predator. Beberapa contoh
pengendalian hayati yang dilakukan di Indonesia adalah pengendalian hama kutu
loncat pada tahun 1980-an dengan menggunakan serangga predator Curinus curilius atau Lady Bird Beetle yang di-impor dari Hawai dan pengendalian
hama kedelai dengan parasitoid Trichogramma spp. Pada umumnya,
serangga pengendali hayati berfungsi sebagai predator dan parasitoid.
Predator
dalam hal ini adalah serangga yang memangsa atau makan serangga lain. Predator
digunakan untuk semua organisme yang hidup bebas selama keseluruhan edaran
hidupnya, selama itu mereka menyerang, makan dan mematikan mamgsanya. Biasanya
ukuran mereka lebih besar dibandingkan ukuran mangsanya, dan mereka membutuhkan
lebih dari satu mangsa untuk dapat melengkapkan edaran hidupnya. Belalang
sembah, laba-laba, kumbang coccinelid, temasuk di dalamnya. Predator dapat
memangsa larva dan imago serangga dan biasanya memangsa beberapa mangsa dalam
satu siklus hidupnya. Pengendalian hama dengan menggunakan serangga pengendali
hayati tidak mencemari lingkungan, tetapi cara ini tidak kompatibel dengan
cara pengendalian lain, khususnya pestisida.
Beberapa
musuh alami yang diamati di laboratorium pada saat praktikum antara lain:
1.
Belalang sembah (Mantis religiosa )
![]() |
![]() |
||
(http://id.wikipedia.org/wiki/belalang_sembah) ( http://blog.uad.ac.id/ditades/category/arthropoda/)
Ordo : Orthoptera
Famili : Manthidae
Rentang
mangsa : Oligofaga
Cara
menyerang : Dengan kaki depannya dan
berusaha mencakar atau menggigit
Belalang
sembah mempunyai protoraks yang panjang dengan kaki depan mengalami modifikasi
sebagai alat untuk menangkap dan memegang. Mulut menggigit, mata majemuk besar,
oseolus biasanya tiga. Kepala kecil berbentuk segitiga, bergerak dengan bebas
pada leher. Pada umumnya berwarna hijau, seperti daun, walaupun sebagian ada yang
berwarna coklat, kekuningan, merah muda, dan lain-lain. Warna ini disesuaikan
dengan habitatnya. Belalang sembah banyak ditemukan di sekitar pertanaman.
Telur diletakkan di berbagai bagian tanaman, terutama ranting dan dibungkus
oleh bahan seperti busa yang lekat, tiap jenis mempunyai bentuk massa telur
yang berbeda. Nimfa muncul serempak, sangat aktif dalam mencari mangsa, kaki
depan dalam posisi seperti orang berdoa dan siap untuk menangkap mangsa yang
lewat. Betina kawin beberapa kali, setelah kawin biasanya yang jantan akan
dimakan atau dibunuh sebagai predator yang efektif, memangsa berbagai serangga,
sering pula bersifat kanibal dengan memakan mantid lainnya (Anonim, 1991).
Belalang sembah merupakan hewan karnivora,
jenis hewan yang biasa dimangsa oleh belalang sembah bermacam-macam, dari
serangga-serangga kecil seperti jangkrik, kupu-kupu,lebah, hingga hewan vertebrata seperti ular, tikus, kadal, katak, dan burung kecil
(Anonim, 2013).
2.
Kepik
reduviid (Rhinocorus
fuscipes)

Ordo :
Hemiptera
Famili :
Reduviidae
Rentang mangsa :
Oligofaga
Cara menyerang :
mencucuk-mengisap
Morfologi
kepik yaitu struktur mulutnya yang berbentuk seperti jarum.. Sayap depan yang
bagian pangkalnya keras seperti kulit, namun bagian belakangnya tipis seperti
membran. Bagian yang beruas dari proboscis itu adalah labium, yang bertindak
sebagai suatu selubung bagi empat stilet penusuk (dua mandibel dan dua
maksilae). Maksilae bersama-sama cocok di dalam proboscis membentuk dua
saluran, sebuah saluran makanan dan sebuah saluran air liur .Tidak ada palpus,
walaupun struktur kecil seperti
bergelambir yang jelas pada proboscis dari beberapa kepik akuatik yang diperkirakan
beberapa ahli sebagai palpus (Anonim, 2011).
Kepik pembunuh
ini menyerang aphid, wereng daun dan ulat Lepidoptera. Ukuran dari kepik ini
berkisar 10-30mm. Rhinocorus fuscipes
adalah kepik yang berwarna merah, dan hitam, predator bagi ulat Spodoptera, Heliothis, dan aphid pada pertanaman tembakau (Purnomo, 2010).
3.
Kumbang
koksi (Epilachna admirabilis)

(http://versesofuniverse.blogspot.com/2012/01/lady-bug-kumbang-koksi.html)
![]() |
Ordo :
Coleoptera
Famili :
Coccinellidae
Rentang mangsa :
Oligofaga
Cara menyerang :
menghisap cairan tubuh mangsanya
Delapan
bagian tubuh kumbang
koksi adalah kepala (head), antena (antenna), mata (eyes),
pronotum, dada (thorax), sayap depan atau elitra (elytra),
sayap belakang (wings), dan kaki (legs). Kepala kumbang koksi bulat
dan tipis dimana terdapat mulut, mata dan antena.
Antena adalah alat bantu kumbang koksi untuk mencium dan merasakan keadaan di sekitarnya. Kumbang koksi memiliki sepasang mata tetapi tidak dapat dipakai untuk melihat dengan baik. Pronotum adalah bagian yang berada tepat di belakang kepala datar kumbang koksi yang membuat kepalanya terlihat bulat. Pronotum sebenarnya melindungi kepala kumbang koksi dan membantu untuk menyembunyikannya. Dada dan perut merupakan bagian tubuh tempat dimana kaki dan sayap melekat, dan tempat dimana sistem pencernaan, organ reproduksi, dan jelly yang lengket dan beracun berada. Sayap kumbang koksi tersembuyi dibawah sayap elitra-nya.. Kumbang koksi memiliki kaki yang pendek. Di kakinya terdapat rambut-rambut halus berukuran mikroskopis (hanya bisa dilihat dengan mikroskop) yang ujungnya seperti sendok. Rambut ini menghasilkan bahan berminyak yang lengket sehingga kumbang koksi dapat berjalan dan menempel di tempat-tempat sulit seperti di kaca atau di langit-langit (Daisugi, 2011).
Antena adalah alat bantu kumbang koksi untuk mencium dan merasakan keadaan di sekitarnya. Kumbang koksi memiliki sepasang mata tetapi tidak dapat dipakai untuk melihat dengan baik. Pronotum adalah bagian yang berada tepat di belakang kepala datar kumbang koksi yang membuat kepalanya terlihat bulat. Pronotum sebenarnya melindungi kepala kumbang koksi dan membantu untuk menyembunyikannya. Dada dan perut merupakan bagian tubuh tempat dimana kaki dan sayap melekat, dan tempat dimana sistem pencernaan, organ reproduksi, dan jelly yang lengket dan beracun berada. Sayap kumbang koksi tersembuyi dibawah sayap elitra-nya.. Kumbang koksi memiliki kaki yang pendek. Di kakinya terdapat rambut-rambut halus berukuran mikroskopis (hanya bisa dilihat dengan mikroskop) yang ujungnya seperti sendok. Rambut ini menghasilkan bahan berminyak yang lengket sehingga kumbang koksi dapat berjalan dan menempel di tempat-tempat sulit seperti di kaca atau di langit-langit (Daisugi, 2011).
Kumbang
koksi pemangsa kutu daun (Aphid). Umumnya kumbang koksi pemakan kutu daun
berwarna cerah, warna kemerahan, meskipun juga ditemukan beberapa yang tidak
berwarna merah juga memakan kutu daun. Selain itu pemakan kutu perisai,kutu
kebul, tungau dan kutu dompolan (Purnomo, 2010).
Mayoritas dari kumbang koksi atau kumbang kepik adalah karnivora yang
memakan hewan-hewan kecil penghisap tanaman semisal kutu daun (afid). Larva dan
kumbang kepik dewasa dari spesies yang sama biasanya memakan makanan yang sama.
Kumbang Kepik makan dengan cara menghisap cairan
tubuh mangsanya. Di kepalanya terdapat sepasang rahang bawah (mandibula)
untuk membantunya memegang mangsa saat makan. Ia lalu menusuk tubuh mangsanya
dengan tabung khusus di mulutnya untuk menyuntikkan enzim pencerna ke tubuh
mangsanya, lalu menghisap jaringan tubuh mangsanya yang sudah berbentuk cair. Seekor kumbang kepik diketahui
bisa menghabiskan 1.000 ekor
kutu daun sepanjang hidupnya (Halil, 2011).
4.
Capung (Orthetrum testaceum)
![]() |

Ordo : Odonata
Famili : Acshnidae
Rentang
mangsa : Oligofaga
Cara
menyerang : mencengkeram
dan mengisap cairan tubuhnya
Capung
mempunyai 6 kaki, memiliki 2 pasang sayap yang transparan serta ruas tubuh
sebanyak 8. hewan ini bersifat hemometabola, mulut pada hewan dewasa bertipe
pengunyah. sayang pada capung yang belakang lebih besar dibandingkan yang
depan, sayap berwujud membran. memiliki mata majemuk yang besar tersusun ats
amatidia yang jumlahnya mencapai 30.000 antena kecil,nympha bersifat akuatik.
Hewan fase nympha dan dewasa semuanya bersifat predator. pada hewan dewasa kaki
tidak digunakan untuk bergerak tetapi digunakan untuk menangkap serangga lain
pada saat terbang (Yeti, 2011).
Serangga
ini terbang cepat sehingga dapat menangkap serangga lain yang sedang terbang.
Beberapa jenis capung memakan mangsanya sambil terbang, jenis lainnya hinggap
untuk makan. Capung dapat menangkap dan memangsa kutu daun di udara. Capung
melewatkan masa remajanya di kolam. Capung betina meletakkan telur di kolam dan
telur menetas di dalam air. Nimfa berjalan dari dasar kolam atau merayap
diantara tanaman bawah air, menangkap dan memakan binatang kecil, jentik-jentik
nyamuk atau kecebong. Jika sudah besar nimfa merayap ke luar air dan melepaskan
kulitnya menjadi dewasa (Anonim, 2000).
5.
Lalat perompak (Zosteria sp.)
![]() |
Ordo : Diptera
Famili : Asilidae
Rentang
mangsa : Oligofaga
Cara
menyerang : mencucuk dan menikam
mangsa serta menyuntik air liur
Lalat
Perompak mempunyai tubuh yang tegap, kaki berduri serta misai tebal di muka
yang di panggil Mystax. Miystax ini membantu lalat perompak
sebagai pertahanan kepala dan muka apabila bertemu dengan mangsa mereka. Probosic, muncung pendek dan kuat di
bawah Mystax digunakan untuk mencucuk
dan menikam mangsa serta menyuntik air liur yang menganduk neurotoksik dan
proteolitik enzim yang melumpuhkan dan mencernakan bagian dalam mangsa sebelum
lalat perompak menyedut hasil cernaan itu dengan Probosic. Lalat perompak dewasa menyerang lalat perompak yang lain,
kumbang, rama-rama dan kupu-kupu (Anonim ,2011).
6.
Tabuhan pemangsa
ulat (Vespa mandarina)
![]() |
![]() |
Ordo : Hymenoptera
Famili : Vespidae
Rentang
mangsa : Oligofaga
Cara menyerang : melumpuhkan
korbannya dengan sengat sehingga korbannya lumpuh dan tidak bisa bergerak
bebas, lalu memasukkannya ke dalam liang di tanah atau sarang dari lumpur yang
ia buat sendiri. Telurnya lalu ditaruh di dekat korban yang sudah lumpuh
sehingga anakan yang baru menetas sudah memiliki persediaan makanannya sendiri
Tubuhnya terbagi menjadi 3 bagian utama: kepala, thorax, dan abdomen.
Ciri khas utama dari anggota Hymenoptera adalah adanya "pinggang”
berukuran ramping yang menghubungkan bagian dada dengan perutnya, sehingga
tubuhnya bisa menekuk dengan mudah. Di kepala tawon terdapat sepasang mata majemuk, yaitu mata
yang terdiri dari kumpulan lensa mata yang lebih kecil. Selain sepasang mata
majemuk tadi, tawon juga memiliki 3 buah oselus (mata sederhana) di puncak
kepalanya. Oselus tidak digunakan untuk melihat, melainkan untuk mendeteksi
intensitas cahaya di
sekitarnya sehingga mereka bisa tahu kapan harus memulai dan mengakhiri
aktivitasnya. Tawon juga memiliki
sepasang rahang bawah (mandibula)
yang bisa digunakan untuk berbagai aktivitas seperti menjepit benda, mencabut
serat kayu, dan bahkan untuk membunuh serangga lain. Bagian lain yang terdapat
di kepala tawon adalah sepasang antena yang
berbuku-buku untuk mendeteksi rangsangan kimia. Warna cangkang luarnya
bervariasi di mana pada tawon dari famili Vespidae, tubuhnya berwarna mencolok kuning dan hitam
sebagai peringatan bagi hewan lain
agar tidak mengganggunya bila tidak ingin disengat. Tubuh tawon juga nyaris
tidak diselubungi rambut. Semua
tawon memiliki sayap (kecuali
tawon betina dari famili Mutillidae) berwarna transparan. Sayap ini jumlahnya 2
pasang dan bergerak seirama di mana jika sayap depan naik, maka sayap belakang
juga ikut bergerak naik (Anonim, 2013).
Sebagian besar tawon memburu hewan-hewan seperti ulat yang merusak tanaman untuk makanan larvanya sehingga
penting dalam mengendalikan populasi hewan-hewan hama di alam. Tawon
sendiri pada gilirannya dimakan oleh pemangsa serangga lain sehingga menciptakan suatu rantai makanan yang berkesinambungan. Peran mereka dalam
mengendalikan populasi hama membuat
beberapa jenis dari mereka diternakkan secara khusus untuk menjadi pembasmi
hama ramah lingkungan (bioinsektisida). Tawon dewasa juga berperan dalam proses penyerbukan bunga saat memakan nektar sehingga
ikut membantu perkembangbiakan tanaman yang bersangkutan (Anonim, 2013).
7.
Kepik pemangsa ulat
(Cantheconidae spp.)
![]() |
Ordo : Hemiptera
Famili :
Pentatomidae.
Rentang
mangsa : Oligofaga
Cara
menyerang : memakan atau
mengisap mangsanya dengan cepa
Kepik
ini bisa ditemukan di pertanaman budidaya, baik lahan basah maupun lahan
kering, seperti lombok, kentang, kapas, jagung, dan berbagai tanaman
leguminosa. Telur yang berbentuk seperti tong diletakkan pada permukaan atas
atau bawah daun, berkelompom. Bila diganggu akan mengeluarkan bau-bauan yang
tidak enak. Nimfa dan dewasa bergerak lamban. Ada yang bersifat predator, hama
tanaman ataupun kedua-duanya yaitu sebagai predator dan hama (Anonim, 1991).
Famili
ini mudah dikenali dengan adanya pronotum yang berbentuk seperti perisai,
sehingga sering disebut kepik perisai. Kepik ini berukuran 10-15 mm, umumnya
berwarna hijau, cokelat, beberapa dengan warna yang cerah. Kebanyakan dari
Pentatomidae juga Phytophagous, akan tetapi dari beberapa yang bertindah
sebagai predato. Cantheconidae spp.
adalah predator bagi ulat Limacodidae seperti Oreta, Setora. Andrallus
spinides adalah predator yang sering dijumpai di pertanaman padi dengan
ciri tubuh berwarna cokelat, dan adanya spines
pada pronotumnya (Purnomo,2010).
B.
Kelompok Parasitoid
Parasitoid
adalah serangga yang hidup pada serangga lain yang lebih besar sebagai
inangnya. Parasitoid hanya bersifat parasit hanya ketika fase pradewasa.
Serangga yang bersifat sebagai parasitoid anatara lain dari ordo Hymenoptera,
Diptera, dan sebagian Strepsiptera. Berdasarkan fase inang hama yang diserang
parasitoid, dikelompokkan atas parasitoid telur, parasitoid larva atau nimfa,
parasitoid pupa, dan parasitoid serangga dewasa. Parasitoid berkembang dan
mencapai fase imago pada seekor serangga inang, memarasit serangga inang pada
saat parasitoid berada dalam periode preimago. Setelah menjadi imago,
parasitoid hidup bebas di luar inangnya. Biasanya dalam suatu serangga
inang dapat hidup lebih dari satu parasitoid. Parasitoid memiliki inang yang
lebih spesifik daripada predator. Beberapa contoh parasitoid yang diamati pada
saat praktikum :
1.
Parasitoid ulat
daun kubis (ichneumonid)
![]() |
Ordo : Hymenoptera
Famili : Ichneumonidae
Rentang
inang : oligofaga
Cara
menyerang : menyerang
inang dengan cara memakannya dari luar
Tubuhnya terbagi menjadi 3 bagian utama: kepala, thorax, dan abdomen.
Ciri khas utama dari anggota Hymenoptera adalah adanya "pinggang”
berukuran ramping yang menghubungkan bagian dada dengan perutnya, sehingga
tubuhnya bisa menekuk dengan mudah. Di kepala tawon terdapat sepasang mata majemuk, yaitu mata
yang terdiri dari kumpulan lensa mata yang lebih kecil. Selain sepasang mata
majemuk tadi, tawon juga memiliki 3 buah oselus (mata sederhana) di puncak
kepalanya. Oselus tidak digunakan untuk melihat, melainkan untuk mendeteksi
intensitas cahaya di
sekitarnya sehingga mereka bisa tahu kapan harus memulai dan mengakhiri
aktivitasnya. Tawon juga memiliki
sepasang rahang bawah (mandibula)
yang bisa digunakan untuk berbagai aktivitas seperti menjepit benda, mencabut
serat kayu, dan bahkan untuk membunuh serangga lain. Bagian lain yang terdapat
di kepala tawon adalah sepasang antena yang
berbuku-buku untuk mendeteksi rangsangan kimia. Warna cangkang luarnya
bervariasi di mana pada tawon dari famili Vespidae, tubuhnya berwarna mencolok kuning dan hitam
sebagai peringatan bagi hewan lain
agar tidak mengganggunya bila tidak ingin disengat.Tubuh tawon juga nyaris
tidak diselubungi rambut. Semua
tawon memiliki sayap (kecuali
tawon betina dari famili Mutillidae) berwarna transparan. Sayap ini jumlahnya 2
pasang dan bergerak seirama di mana jika sayap depan naik, maka sayap belakang
juga ikut bergerak naik (Anonim, 2013).
2.
Parasitoid larva
ulat jengkal (Aleiodes
indiscretus )
![]() |
Ordo : Hymenoptera
Famili : Braconidae
Rentang
inang : Oligofaga
Cara menyerang : masuk lubang larva Lophobaris di cabang
lada dan terus menempatkan telurnya di atas larva tersebut, kemudian ia mundur
keluar
Braconidae sebagian besar
endoparasitoid larva kumbang, lepidoptera, lalat, dan sawflies. Panjang imago
kurang dari 13 cm. Abdomen panjang melebihi torak + kepala. Braco, Chelonus,
Cotesia dan Opius (Purnomo, 2010).
3.
Parasitoid larva
penggulung daun pisang, lalat Tachinid (Sturmia
sp.)

Ordo :
Diptera
Famili
: Tachinidae
Rentang
inang : Oligofaga
Cara menyerang : masuk ke dalam inang, melali
pencernaan atau telur parasitoid tertelan oleh larva inang
Lalat
Tachinid seperti lalat rumah yang berbulu tebal. Tempayak Tachinid ada di dalam
ulat atau binatang lain. Lalat ini digunakan untuk mengendalikan hama secara
hayati. Lalat Tachinid hinggap di atas ulat dan meletakkan telur di atas ulat
atau ke dalam tubuhnya. Ulat berusaha menghindar, tapi telur dimasukkan dengan
cepat. Jenis Tachinid lainnya meletakkan ribuan telur atau larva pada daun yang
dimakan oleh ulat. Jika telur itu sampai ke perut ulat, menetas dan larva mulai
makan ulat dari dalam, maka ulat akan
mati (Anonim, 2000).
famili Tachinidae sangat spesifik
memparasiti hama penggerek batang tebu. Serangga anggota ordo Diptera meliputi
serangga pemakan tumbuhan, pengisap darah, predator dan parasitoid. Serangga
dewasa hanya memiliki satu pasang sayap di depan, sedang sayap belakang
mereduksi menjadi alat keseimbangan berbentuk gada dan disebut halter . Pada
kepalanya juga dijumpai adanya antena dan mata facet. Tipe alat mulut
bervariasi, tergantung sub ordonya, tetapi umumnya memiliki tipe
penjilat-pengisap, pengisap, atau pencucuk pengisap. Pada tipe penjilat
pengisap alat mulutnya terdiri dari tiga bagian yaitu bagian pangkal yang
berbentuk kerucut disebut rostum bagian tengah yang berbentuk silindris disebut
haustellum bagian ujung yang berupa spon disebut labellum atau oral disc
(Wulan, 2012).
4.
Parasitoid telur
pada batang padi (Trichogramma japonicum)
![]() |
Ordo : Hymenoptera
Famili : Trichogrammatidae
Rentang
inang : polifaga
Cara menyerang : memburu dan memangsa telor-telor dari
penggrek batang padi sehingga telor-telor tersebut akan mati sebelum berubah
menjadi ulat.
Karakter
morfologi Trichogramma japonicum
adalah sebgai berikut: imago jantan dan betina berwarna kuning kecoklatan, mata
berwarna merah dan toraks berwarna hitam; panjang imago 0,4-0,5 mm, antena
betina berbentuk gada, berbulu pendek dan tumbuh jarang (hampir tidak berbulu),
antena jantan bentuk lurus dan banyak ditumbuhi bulu/rambut-rambut. Karakter
kebugaran T. japonicum menunjukkan
potensinya untuk digunakan sebagai agen pengendali hayati, keperidian mencapai
34.8±9,01 telur, laju survival 51,9±18,60%. Siklus hidup T. japonicum pendek yaitu rata-rata 10+0,8
hari, hal tersebut sangat menguntungkan untuk digunakan sebagai agensia hayati
dalam mengendalikan hama penggerek batang padi, mengingat serangan PBP terjadi
di sepanjang pertumbuhan tanaman padi. Dengan demikian parasitoid akan
berkembang secara kontinyu hingga mencapai 9-10 generasi selama satu musim
tanam (Yunus, 2013).
Parasitoid
famili Trichogrammatidae ordo Hymenoptera termasuk serangga polifag dan dapat
menyerang beberapa ordo serangga hama termasuk Lepidoptera, Coleoptera,
Diptera, Heteroptera, Hymenoptera dan Neuroptera. Di Indonesia, parasitoid
telur Trichogrammatidae telah diketahui menyerang hama penggerek tebu,
penggerek batang padi, penggerek polong kedelai, dan penggerek tongkol jagung,
selain itu juga dijumpai menyerang hama pada kapas, bit gula, anggur, kubis,
apel, tomat, tebu, sayuran dan cemara (Yunus, 2013) .
C.
Kelompok Patogen
Pada
kelompok ini, ditekankan pada yang menyebabkan infeksi pada musuhnya. Patogen atau penyebab penyakit dapat berupa organisme,
yang tergolong dalam dunia tumbuhan, dan bukan organisme yang biasa disebut
fisiophat. Sedangkan organisme dapat dibedakan menjadiparasit dan saprofit.
Klasifikasi patogen terbagi menjadiVirus, bakteri, fungi/jamur, protozoa dan nematoda. Contoh pathogen
yang menjadi musuh alami/ agensia pengendali hayati:
1.
Gejala serangan
terinfeksi jamur (Metarrhizium anisopliae
pada uret Oryctes rhinoceros).

![]() |
Ordo : Moniliales
Famili : Moniliaceae
Cara menyerang : masuk ke tubuh serangga melalui spirakel
dan pori-pori atau kutikula dari tubuh serangga.
Morfologi dari Metarhizium yang
telah banyak diketahui yaitu konidiofor tumbuh tegak, spora berbentuk silinder
atau lonjong dengan panjang 6-16 mm, warna hialin, bersel satu, massa spora
berwarna hijau zaitun. Metarhizium sp.
tumbuh pada pH 3,3-8,5 dan memerlukan kelembaban tinggi. Radiasi sinar matahari
dapat menyebabkan kerusakan pada spora. Suhu optimum bagi
pertumbuhan dan perkembangan spora berkisar pada 25-30oC. Metarhizium mempunyai miselia yang bersepta, dengan
konidia yang berbentuk lonjong. Metarhizium anisopliae bersifat saprofit pada media buatan,
awal mula pertumbuahannya adalah tumbuhnya konidium yang membengkak dan
mengeluarkan tabung-tabung kecambah (Anonim, 2010).
infeksi
oleh jamur ini mengakibatkan kemampuan makan pada uret menurun dan timbul
bintik coklat pada bagian integumen tetapi larva masih tetap hidup. Larva yang
telah mati tubuhnya mengeras, kaku, dan busuk kering, serta keluar konidia
berwarna kelabu. Tubuh larva berwarna putih karena cendawan berkembang
memebentuk hifa dan akan berwarna hijau pada saat spora terbentuk. Penularan
jamur ini dapat melalui persinggungan atau masuk melalui makanan. Jamur ini
dapat diperbanyak secara konvensional dengan menggunakan media jagung atau
beras kemudian disebar dalam sarang-sarang uret (Sutoyo, 1997).
2.
Kultur/biakan jamur
entomopatogen Beauveria bassiana (Bb)
![]() |
(http://id.wikipedia.org/wiki/Beauveria_bassiana)
![]() |
Ordo : Hypocreales
Famili : Cordycipitaceae
Cara menyerang : masuk
ke dalam tubuh inang, reproduksi di
dalam satu atau lebih jaringan inang, kemudian kontak dan menginfeksi inang
baru
Cara
cendawan Beauvaria bassiana menginfeksi tubuh serangga dimulai
dengan kontak inang, masuk ke dalam
tubuh inang, reproduksidi
dalam satu atau lebih jaringan inang, kemudian kontak dan menginfeksi inang
baru. B. bassiana masuk ke tubuh serangga inang melalui kulit, saluran pencernaan, spirakel dan
lubang lainnya. Inokulum jamur
yang menempel pada tubuh serangga inang akan berkecambah dan berkembang membentuk
tabung kecambah, kemudian masuk menembus kulit tubuh
Penembusan
dilakukan secara mekanis dan atau kimiawi dengan mengeluarkan enzim atau toksin. Pada
proses selanjutnya, jamur akan bereproduksi di dalam tubuh inang. Jamur
akan berkembang dalam tubuh inang dan menyerang seluruh jaringan tubuh,
sehingga serangga mati. Miselia jamur
menembus ke luar tubuh inang, tumbuh menutupi tubuh inang dan memproduksi konidia. Dalam
hitungan hari, serangga akan
mati.[4] Serangga
yang terserang jamur B. bassiana akan
mati dengan tubuh mengeras seperti mumi dan jamur menutupi tubuh inang dengan warna putih.
Dalam
infeksinya, B. bassiana akan terlihat keluar dari tubuh serangga
terinfeksi mula-mula dari bagian alat tambahan (apendages) seperti antara segmen-segmen antena, antara
segmen kepala dengan toraks ,
antara segmen toraks dengan abdomen dan antara segmen abdomen dengan cauda (ekor). Setelah
beberapa hari kemudian seluruh permukaan tubuh serangga yang terinfeksi akan
ditutupi oleh massa jamur yang berwarna putih. Penetrasi jamur entomopatogen sering
terjadi pada membran antara
kapsul kepala dengan toraks atau di antara segmen-segmen apendages demikian
pula miselium jamur
keluar pertama kali pada bagian-bagian tersebut (Anonim, 2012).
3.
Biakan bakteri
entomopatogen Bacillus thuringiensis (Bt)
![]() |
Ordo :
Bacillales
Famili : Bacillaceae
Cara menyerang : toksin
Cry tersebut akan dilepas bersamaan dengan spora ketika
terjadi pemecahan dinding sel.
Apabila termakan oleh larva insekta, maka larva akan menjadi inaktif, makan
terhenti, muntah, atau kotorannya menjadi berair
Bacillus thuringiensis merupakan salah satu bakteri patogen pada serangga. Ciri-ciri
Morfologi B. thuringiesis antara lain (Iren, 2009):
1.
mempunyai sel vegetatif berbentuk
batang dengan ukuran panjang 3 – 5 mm dan lebar 1,0 – 1,2 mm,
2.
mempunyai flagella,
3.
membentuk spora berbentuk
oval, letaknya subterminal, berwarna hijau kebiruan dan berukuran 1,0 – 1,3 m,
4.
spora relatif tahan terhadap
pengaruh fisik dan kimia,
5.
pembentukan spora terjadi
dengan cepat pada suhu 35° - 37°C,
6.
spora mengandung asam
dipikolinik (DPA), 10-15% dari berat kering spora,
7.
sel-sel vegetatif dapat
membentuk suatu rantai yang terdiri dari 5 - 6 sel,
8.
bersifat gram positif,
9.
aerob tetapi umumnya
anaerob fakultatif,
10.
dapat tumbuh pada media
buatan,
11.
suhu untuk pertumbuhan
berkisar antara 15°- 40°C.
Protein atau toksin Cry tersebut akan dilepas bersamaan
dengan spora ketika
terjadi pemecahan dinding sel.
Apabila termakan oleh larva insekta, maka larva akan menjadi inaktif, makan
terhenti, muntah, atau kotorannya menjadi berair. Bagian kepala serangga akan
tampak terlalu besar dibandingkan ukuran tubuhnya. Selanjutnya, larva menjadi
lembek dan mati dalam hitungan hari atau satu minggu. Bakteri tersebut akan
menyebabkan isi tubuh insekta menjadi berwarna hitam kecoklatan, merah, atau
kuning, ketika membusuk. Berbagai macam spesies B. thuringiensis telah diisolasi dari serangga golongan
koleoptera, diptera, dan lepidoptera
(Anonim, 2013).
4.
Biakan nematoda entomopatogen
Steinernema spp.
![]() |
Ordo : Dorylaimida
Famili : Steinernematidae
Cara
menyerang : menginfeksi larva
Ciri-ciri
Nematoda Steinernema spp. tersebut
adalah Badan halus, ukuran tubuh > 500 – 900 milimikron, kepala halus tidak bertanduk, dan ekor
tumpul (BPP, 2012).
Nematoda menginfeksi larva yang menyebabkan larva berubah
warna pada bagian pangkal tubuhnya. Larva yang sehat pada pangkal tubuhnya
berwarna kehitaman sedangkan larva yang terinfeksi bakteri berwarna keputihan.
Larva yang terinfeksi lama-kelamaan akan mati membusuk dan mengeluarkan aroma
yang tidak enak (bau busuk).
IV.
KESIMPULAN
1.
Beberapa jenis
serangga dapat berperan sebagai musuh alami, baik itu berupa predator,
parasitoid ataupun patogen bagi hama
yang menyerang tanaman.
2.
Keunggulan dan
kelemahan musuh alami :
a.
Predator : daya
tanggap terhadap mangsa rendah jadi kalau ada mangsa gerakan dan terkamannya
sangat lamban (kelemahan), sedangkan keunggulannya adalah ukurannya yang lebih
besar, biasanya mudah ditakuti oleh mangsa dan mangsa-mangsa kecil lebih mudah untuk
diterkam.
b.
Parasitoid : keunggulannya
ukurannya yang relatif kecil mempermudah masuk pada inang yang relative lebih
besar, kerjanya langsung pada jaringan mangsayakni dengan mengganggu system
dalam tubuh sehingga lebih efektif, namun karena monofag/oligofag maka hanya bisa digunakan
pada inang-inang tertentu saja.
c.
Patogen : daya
penularan /serangan penghambat mobilitas hama dengan cepat, namun daya carinya
sangat rendah.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1991. Kunci Determinasi Serangga. Kanisius.
Yogyakarta
Anonim.
2000. Musuh Alami dan Hama Pada Kapas. Departemen Kehutanan dan Perkebunan.
Jakarta.
Anonim,
2010. Jamur Metarhizium anisopliae.< http://p2aph.wordpress.com/2010/01/21/jamur-metarhizium-anisopliae/>. Di akses tanggal 11 April 2013
Anonim,
2011. Bila Perompak dapat Makanan. < http://aj-xplored.blogspot.com/2011/06/bila-perompak-dapat-makanan.html>. Di akses tanggal 11 April 2013
Anonim,
2011. Ordo Hemiptera
Kepik – Kepik .< http://kesehatanlingkungansby.blogspot.com/2011/01/ordo-hemiptera-kepik-kepik.html>.
Di akses tanggal 5 April 2013.
Anonim,
2012. Beauveria bassiana. < http://id.wikipedia.org/wiki/Beauveria_bassiana>.
Di akses tanggal 5 April 2013
Anonim,
2013. Bacillus thuringiensis. <http://id.wikipedia.org/wiki/Bacillus_thuringiensis>.
Di akses tanggal 11 April 2013
Anonim,
2013. Belalang Sentadu.< http://id.wikipedia.org/wiki/Belalang_sentadu>.
Di akses tanggal 5 April 2013
Anonim,
2013. Tawon.< http://id.wikipedia.org/wiki/Tawon>.
Di akses 11 april 2013
Bonaro, O., A. Lurette, C. Vidal, and J. Fargues. 2007.
Modelling temperature-dependent bionomics of Bemiisa tabaci (Q-biotype). Physiological Entomology 32: 50 – 55.
BPP,
2012. Nematoda Entomopatogen ( NEP
).< http://bpptiris.blogspot.com/2012/08/nematoda-entomopatogen-nep.html>.
Di akses tanggal !! April 2013
Daisugi, 2011. Anatomi Kumbang Koksi (Ladybug
Anatomy). < http://jujujitu.blogspot.com/2011/07/ladybug-anatomy-kumbang-kepik-koksi.html>. Di
akses tanggal 5 April 2013
Halil, L. 2011. Kumbang Helm
Musuh Alami dan Hama. < http://saungsumberjambe.blogspot.com/2011/10/kumbang-helm-musuh-alami-dan-hama.html>. Di akses 11 April 2013
Heagle, A.S., J. C. Burns, D.
S. Fisher, And J. E. Miller. 2002. Effects of carbon dioxide enrichment on leaf
chemistry and reproduction by twospotted spider mites (Acari: Tetranychidae) on
white clover. Environ. Entomol 31: 594-601.
Iren, 2009. Bacillus thuringiensis. < http://env-iren.blogspot.com/2009/03/bacillus-thuringiensis-ciri-ciri.html>.
Di akses 11 April 2013
Istianto, M. 2008. Pemanfaatan Minyak/Senyawa Atsiri
Dalam Pengendalian Populasi Hama Tanaman. <http://www.horti-tech.com>.
Diakses pada 06 April 2013.
Kartasapoetra, A. G. 1987. Hama Tanaman Pangan dan
Perkebunan. Bumi Aksara. Jakarta.
Mahrub, E., dan S. Mangoendihardjo. 1989. Pengendalian Hayati. Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.
Purnomo, H. 2010. Pengantar Pengendalian Hayati. Andi,
Yogyakarta.
Sutoyo.
1997. Metode penularan M. anisopliae
terhadap pertumbuhan larva Oryctes
rhinoceros L. Kumpulan Makalah I
Entomologi Murni. Perhimpunan Entomologi Indonesai. Yogyakarta
Wagiman, F. X. 2003. Hama Tanaman: Cemiri Morfologi,
Biologi dan Gejala Serangan. Jurusan Hama Penyakit Tanaman, Fakultas Pertanian,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar