Sabtu, 22 November 2014

PENGENALAN AGENSIA PENGENDALIAN HAYATI: PREDATOR, PARASITOID, DAN PATOGEN



I.                   PENDAHULUAN

A.                 Latar Belakang
Perlindungan tanaman seperti diketahui umum pada saat sekarang adalah sinonim dengan penggunaan pestisida. Padahal hal ini tidak semuanya benar, karena konsep yang demikian sudah tidak relevan lagi, karena banyak kisah klasik yang berhasil dalam mengendalikan jasad yang kita sebut hama dengan cara melakukan pengendalian hayati. Kesehatan tanaman adalah hal vital menyangkut berbagai aspek. Penjagaan kesehatan tumbuhan terutama dilakukan terhadap tumbuhan yang diusahakan, agar tidak mengalami gangguan secara eksplosif atau epidemik yang potensial. Dari segi ekonomi, kerusakan tanaman yang disebabkan hama merupakan ketidakmampuan tanaman untuk memberikan hasil yang cukup kualitas dan kuantitasnya.
Perlu diingat bahwa perlindungan tanaman tidak harus selalu dikaitkan dengan pestisida kimiawi yang bisa mencemari lingkungan. Dalam perlindungan tanaman, karena menyangkut suatu ekosistem pasti ada jalan keluar dalam rangka kelangsungan semua kehidupan. Dalam  teori ekologi, bahwa kehidupan seperti layaknya lingkarang tak berujung. Misalnya dalam peristiwa rantai makanan yang bisa kita manfaatkan dalam rangka perlindungan tanaman pada aras keseimbangan lingkungan.  Pada praktikum ini, akan dijelaskan mengenai agensia hayati (virus, bakteri, cendawan, ricketsia, protozoa, dan nematoda) yang merupakan musuh alami yang mampu menurunkan populasi organisme pengganggu.

B.  Tujuan Praktikum
Tujuan praktikum ini adalah memahami jenis-jenis pengendali hayati melalui teknis morfologi dan anatomi.



II.                TATA CARA PRAKTIKUM
Praktikum Dasar-dasar Ilmu Hama Tanaman  acara 3 yakni tentang pengenalan Agensia Pengendali Hayati: Predator, Parasitoid, Dan Patogen yang dilaksanakan pada hari Jumat 5 April 2013 di laboratorim Entomologi Terapan, Jurusan Ilmu Hama dan Penyakit tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Bahan-bahan yang digunakan beberapa spesimen organisme agensia pengendali hayati, baik yang berupa awetan maupun masih hidup.. Kemudian dilakukan pengamatan morfologi, terutama tipe mulut (untuk predator), dan ukuran tubuh (untuk parasitoid). Untuk patogen, dapat merujuk pada laman yang sudah direkomendasikan untuk membuat deskripsi.
Preparat awetan dan hidup predator yaitu belalang sembah, capung, kepik pemangsa ulat (Famili Pentatomidae), kepik pemangsa ulat (Famili Reduviidae), kumbang koksi (Famili Coccinellidae), lalat perompak (Famili Asilidae), tabuhan pemangsa ulat (Famili Vespidae). Preparat awetan dan hidup parasitoid yaitu parasitoid telur penggerek batang tebu, Trichogramma spp. (Famili Trichogrammatidae); parasitoid telur penggerek batang padi Tetrastichus schoenobii (Famili Eulophidae); parasitoid larva ulat jengkal, Cotesia sp. (Famili Brachonidae); parasitoid pupa penggulung daun pisang, Xantopimla gamsura (Famili Ichneumonidae); parasitoid larva penggulung daun pisang, lalat Tachinid (Famili tachinidae); parasitoid ulat daun kubis (Plutella xylostella), Diadegma sp. (Famili Ichneumonidae). Preparat patogen yaitu kultur/biakan jamur Metarhizium anisopliae; kultur/biakan jamur beauveria bassiana; kultur/produk/biakan bakteri Bacillus thuringiensis (Bt), contoh DIPEL; kultur/biakan virus NPV; gejala serangga terinfeksi jamur patogen (Metarhizium anisopliae pada uret, Beauveria bassiana pada kepik padi, Hirsutella sp. Pada wereng coklat); gejala serangga terinfeksi bakteri (Bacillus thuringiensis pada ulat bawang, Bacillus popiliae pada uret); gejala serangga terinfeksi virus (Nucleopilihidrovirus pada ulat grayak, Granulovirus pada ulat, Baculovirus pada uret); gejala serangga terinfeksi nematoda (Heterorabdistis sp. Pada uret pada  Steinernema carpocapsae).






III.             HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN
Masalah hama akan selalu muncul karena ekosistem pertanian yang kita ciptakan memberikan keadaan yang sesuai bagi perkembangan dan kehidupan beberapa jenis tertentu. Sebagai upaya pengendalian hayati yang menggunakan musuh alami dibagi atas tiga kelompok besar organisme yang dapat menjadi agensia hayati sebagai berikut :
A.                Kelompok Predator/ Pemangsa
Penggunaan serangga pengendali hayati untuk mengendalikan serangga hama tanaman merupakan kegiatan yang sudah lama diketahui dalam sistem pertanian. Suatu contoh klasik adalah penggunaan semut untuk mengendalikan hama pada tanaman jeruk di China. Contoh lain adalah pengendalian hayati kutu jeruk cottony cushion di California pada tahun 1880-an dengan menggunakan parasitoid dan predator. Beberapa contoh pengendalian hayati yang dilakukan di Indonesia adalah pengendalian hama kutu loncat pada tahun 1980-an dengan menggunakan serangga predator Curinus curilius atau Lady Bird Beetle yang di-impor dari Hawai dan pengendalian hama kedelai dengan parasitoid Trichogramma spp. Pada umumnya, serangga pengendali hayati berfungsi sebagai predator dan parasitoid.
Predator dalam hal ini adalah serangga yang memangsa atau makan serangga lain. Predator digunakan untuk semua organisme yang hidup bebas selama keseluruhan edaran hidupnya, selama itu mereka menyerang, makan dan mematikan mamgsanya. Biasanya ukuran mereka lebih besar dibandingkan ukuran mangsanya, dan mereka membutuhkan lebih dari satu mangsa untuk dapat melengkapkan edaran hidupnya. Belalang sembah, laba-laba, kumbang coccinelid, temasuk di dalamnya. Predator dapat memangsa larva dan imago serangga dan biasanya memangsa beberapa mangsa dalam satu siklus hidupnya. Pengendalian hama dengan menggunakan serangga pengendali hayati tidak mencemari lingkungan, tetapi cara ini tidak kompatibel dengan cara pengendalian lain, khususnya pestisida.
Beberapa musuh alami yang diamati di laboratorium pada saat praktikum antara lain:
1.    Belalang sembah (Mantis religiosa )





 








(http://id.wikipedia.org/wiki/belalang_sembah)            ( http://blog.uad.ac.id/ditades/category/arthropoda/)
Ordo                            : Orthoptera
Famili                          : Manthidae
Rentang mangsa          : Oligofaga
Cara menyerang          : Dengan kaki depannya dan berusaha mencakar atau menggigit
Belalang sembah mempunyai protoraks yang panjang dengan kaki depan mengalami modifikasi sebagai alat untuk menangkap dan memegang. Mulut menggigit, mata majemuk besar, oseolus biasanya tiga. Kepala kecil berbentuk segitiga, bergerak dengan bebas pada leher. Pada umumnya berwarna hijau, seperti daun, walaupun sebagian ada yang berwarna coklat, kekuningan, merah muda, dan lain-lain. Warna ini disesuaikan dengan habitatnya. Belalang sembah banyak ditemukan di sekitar pertanaman. Telur diletakkan di berbagai bagian tanaman, terutama ranting dan dibungkus oleh bahan seperti busa yang lekat, tiap jenis mempunyai bentuk massa telur yang berbeda. Nimfa muncul serempak, sangat aktif dalam mencari mangsa, kaki depan dalam posisi seperti orang berdoa dan siap untuk menangkap mangsa yang lewat. Betina kawin beberapa kali, setelah kawin biasanya yang jantan akan dimakan atau dibunuh sebagai predator yang efektif, memangsa berbagai serangga, sering pula bersifat kanibal dengan memakan mantid lainnya (Anonim, 1991).
Belalang sembah merupakan hewan karnivora, jenis hewan yang biasa dimangsa oleh belalang sembah bermacam-macam, dari serangga-serangga kecil seperti jangkrik, kupu-kupu,lebah, hingga hewan vertebrata seperti ular, tikus, kadal, katak, dan burung kecil (Anonim, 2013).



2.    Kepik reduviid (Rhinocorus fuscipes)







Ordo                         : Hemiptera
Famili                        : Reduviidae
Rentang mangsa       : Oligofaga
Cara menyerang        : mencucuk-mengisap
            Morfologi kepik yaitu struktur mulutnya yang berbentuk seperti jarum.. Sayap depan yang bagian pangkalnya keras seperti kulit, namun bagian belakangnya tipis seperti membran. Bagian yang beruas dari proboscis itu adalah labium, yang bertindak sebagai suatu selubung bagi empat stilet penusuk (dua mandibel dan dua maksilae). Maksilae bersama-sama cocok di dalam proboscis membentuk dua saluran, sebuah saluran makanan dan sebuah saluran air liur .Tidak ada palpus, walaupun struktur kecil seperti  bergelambir yang jelas pada proboscis dari beberapa kepik akuatik yang diperkirakan beberapa ahli sebagai palpus (Anonim, 2011).
     Kepik pembunuh ini menyerang aphid, wereng daun dan ulat Lepidoptera. Ukuran dari kepik ini berkisar 10-30mm. Rhinocorus fuscipes adalah kepik yang berwarna merah, dan hitam, predator bagi ulat Spodoptera, Heliothis, dan aphid pada pertanaman tembakau (Purnomo, 2010).



3.    Kumbang koksi (Epilachna admirabilis)







(http://versesofuniverse.blogspot.com/2012/01/lady-bug-kumbang-koksi.html)
 








Ordo                         : Coleoptera
Famili                        : Coccinellidae
Rentang mangsa       : Oligofaga
Cara menyerang          : menghisap cairan tubuh mangsanya

Delapan bagian tubuh kumbang koksi adalah kepala (head), antena (antenna), mata (eyes), pronotum, dada (thorax), sayap depan atau elitra (elytra), sayap belakang (wings), dan kaki (legs). Kepala kumbang koksi bulat dan tipis dimana terdapat mulut, mata dan antena. 
Antena adalah alat bantu kumbang koksi untuk mencium dan merasakan keadaan di sekitarnya.  Kumbang koksi memiliki sepasang mata tetapi tidak dapat dipakai untuk melihat dengan baik. Pronotum adalah bagian yang berada tepat di belakang kepala datar kumbang koksi yang membuat kepalanya terlihat bulat. Pronotum sebenarnya melindungi kepala kumbang koksi dan membantu untuk menyembunyikannya. Dada dan perut merupakan bagian tubuh tempat dimana kaki dan sayap melekat, dan tempat dimana sistem pencernaan, organ reproduksi, dan jelly yang lengket dan beracun berada. Sayap kumbang koksi tersembuyi dibawah sayap elitra-nya..  Kumbang koksi memiliki kaki yang pendek. Di kakinya terdapat rambut-rambut halus berukuran mikroskopis (hanya bisa dilihat dengan mikroskop) yang ujungnya seperti sendok. Rambut ini menghasilkan bahan berminyak yang lengket sehingga kumbang koksi dapat berjalan dan menempel di tempat-tempat sulit seperti di kaca atau di langit-langit (Daisugi, 2011).
Kumbang koksi pemangsa kutu daun (Aphid). Umumnya kumbang koksi pemakan kutu daun berwarna cerah, warna kemerahan, meskipun juga ditemukan beberapa yang tidak berwarna merah juga memakan kutu daun. Selain itu pemakan kutu perisai,kutu kebul, tungau dan kutu dompolan (Purnomo, 2010).
Mayoritas dari kumbang koksi atau kumbang kepik adalah karnivora yang memakan hewan-hewan kecil penghisap tanaman semisal kutu daun (afid). Larva dan kumbang kepik dewasa dari spesies yang sama biasanya memakan makanan yang sama. Kumbang Kepik makan dengan cara menghisap cairan tubuh mangsanya. Di kepalanya terdapat sepasang rahang bawah (mandibula) untuk membantunya memegang mangsa saat makan. Ia lalu menusuk tubuh mangsanya dengan tabung khusus di mulutnya untuk menyuntikkan enzim pencerna ke tubuh mangsanya, lalu menghisap jaringan tubuh mangsanya yang sudah berbentuk cair. Seekor kumbang kepik diketahui bisa menghabiskan 1.000 ekor kutu daun sepanjang hidupnya (Halil, 2011).
4.    Capung (Orthetrum testaceum)
 










Ordo                            : Odonata
Famili                          : Acshnidae
Rentang mangsa          : Oligofaga
Cara menyerang          : mencengkeram dan mengisap cairan tubuhnya
Capung mempunyai 6 kaki, memiliki 2 pasang sayap yang transparan serta ruas tubuh sebanyak 8. hewan ini bersifat hemometabola, mulut pada hewan dewasa bertipe pengunyah. sayang pada capung yang belakang lebih besar dibandingkan yang depan, sayap berwujud membran. memiliki mata majemuk yang besar tersusun ats amatidia yang jumlahnya mencapai 30.000 antena kecil,nympha bersifat akuatik. Hewan fase nympha dan dewasa semuanya bersifat predator. pada hewan dewasa kaki tidak digunakan untuk bergerak tetapi digunakan untuk menangkap serangga lain pada saat terbang (Yeti, 2011).
Serangga ini terbang cepat sehingga dapat menangkap serangga lain yang sedang terbang. Beberapa jenis capung memakan mangsanya sambil terbang, jenis lainnya hinggap untuk makan. Capung dapat menangkap dan memangsa kutu daun di udara. Capung melewatkan masa remajanya di kolam. Capung betina meletakkan telur di kolam dan telur menetas di dalam air. Nimfa berjalan dari dasar kolam atau merayap diantara tanaman bawah air, menangkap dan memakan binatang kecil, jentik-jentik nyamuk atau kecebong. Jika sudah besar nimfa merayap ke luar air dan melepaskan kulitnya menjadi dewasa (Anonim, 2000).



5.    Lalat perompak (Zosteria sp.)
 









Ordo                            : Diptera
Famili                          : Asilidae
Rentang mangsa          : Oligofaga
Cara menyerang          : mencucuk dan menikam mangsa serta menyuntik air liur
Lalat Perompak mempunyai tubuh yang tegap, kaki berduri serta misai tebal di muka yang di panggil Mystax. Miystax ini membantu lalat perompak sebagai pertahanan kepala dan muka apabila bertemu dengan mangsa mereka. Probosic, muncung pendek dan kuat di bawah Mystax digunakan untuk mencucuk dan menikam mangsa serta menyuntik air liur yang menganduk neurotoksik dan proteolitik enzim yang melumpuhkan dan mencernakan bagian dalam mangsa sebelum lalat perompak menyedut hasil cernaan itu dengan Probosic. Lalat perompak dewasa menyerang lalat perompak yang lain, kumbang, rama-rama dan kupu-kupu (Anonim ,2011).
6.    Tabuhan pemangsa ulat (Vespa mandarina)
 







 










Ordo                            : Hymenoptera
Famili                          : Vespidae
Rentang mangsa          : Oligofaga
Cara menyerang            : melumpuhkan korbannya dengan sengat sehingga korbannya lumpuh dan tidak bisa bergerak bebas, lalu memasukkannya ke dalam liang di tanah atau sarang dari lumpur yang ia buat sendiri. Telurnya lalu ditaruh di dekat korban yang sudah lumpuh sehingga anakan yang baru menetas sudah memiliki persediaan makanannya sendiri
Tubuhnya terbagi menjadi 3 bagian utama: kepala, thorax, dan abdomen. Ciri khas utama dari anggota Hymenoptera adalah adanya "pinggang” berukuran ramping yang menghubungkan bagian dada dengan perutnya, sehingga tubuhnya bisa menekuk dengan mudah. Di kepala tawon terdapat sepasang mata majemuk, yaitu mata yang terdiri dari kumpulan lensa mata yang lebih kecil. Selain sepasang mata majemuk tadi, tawon juga memiliki 3 buah oselus (mata sederhana) di puncak kepalanya. Oselus tidak digunakan untuk melihat, melainkan untuk mendeteksi intensitas cahaya di sekitarnya sehingga mereka bisa tahu kapan harus memulai dan mengakhiri aktivitasnya. Tawon juga memiliki sepasang rahang bawah (mandibula) yang bisa digunakan untuk berbagai aktivitas seperti menjepit benda, mencabut serat kayu, dan bahkan untuk membunuh serangga lain. Bagian lain yang terdapat di kepala tawon adalah sepasang antena yang berbuku-buku untuk mendeteksi rangsangan kimia. Warna cangkang luarnya bervariasi di mana pada tawon dari famili Vespidae, tubuhnya berwarna mencolok kuning dan hitam sebagai peringatan bagi hewan lain agar tidak mengganggunya bila tidak ingin disengat. Tubuh tawon juga nyaris tidak diselubungi rambut. Semua tawon memiliki sayap (kecuali tawon betina dari famili Mutillidae) berwarna transparan. Sayap ini jumlahnya 2 pasang dan bergerak seirama di mana jika sayap depan naik, maka sayap belakang juga ikut bergerak naik (Anonim, 2013).
Sebagian besar tawon memburu hewan-hewan seperti ulat yang merusak tanaman untuk makanan larvanya sehingga penting dalam mengendalikan populasi hewan-hewan hama di alam. Tawon sendiri pada gilirannya dimakan oleh pemangsa serangga lain sehingga menciptakan suatu rantai makanan yang berkesinambungan. Peran mereka dalam mengendalikan populasi hama membuat beberapa jenis dari mereka diternakkan secara khusus untuk menjadi pembasmi hama ramah lingkungan (bioinsektisida). Tawon dewasa juga berperan dalam proses penyerbukan bunga saat memakan nektar sehingga ikut membantu perkembangbiakan tanaman yang bersangkutan (Anonim, 2013).

7.    Kepik pemangsa ulat (Cantheconidae spp.)
 










Ordo                            : Hemiptera
Famili                         : Pentatomidae.
Rentang mangsa          : Oligofaga
Cara menyerang          : memakan atau mengisap mangsanya dengan cepa
Kepik ini bisa ditemukan di pertanaman budidaya, baik lahan basah maupun lahan kering, seperti lombok, kentang, kapas, jagung, dan berbagai tanaman leguminosa. Telur yang berbentuk seperti tong diletakkan pada permukaan atas atau bawah daun, berkelompom. Bila diganggu akan mengeluarkan bau-bauan yang tidak enak. Nimfa dan dewasa bergerak lamban. Ada yang bersifat predator, hama tanaman ataupun kedua-duanya yaitu sebagai predator dan hama (Anonim, 1991).
Famili ini mudah dikenali dengan adanya pronotum yang berbentuk seperti perisai, sehingga sering disebut kepik perisai. Kepik ini berukuran 10-15 mm, umumnya berwarna hijau, cokelat, beberapa dengan warna yang cerah. Kebanyakan dari Pentatomidae juga Phytophagous, akan tetapi dari beberapa yang bertindah sebagai predato. Cantheconidae spp. adalah predator bagi ulat Limacodidae seperti Oreta, Setora. Andrallus spinides adalah predator yang sering dijumpai di pertanaman padi dengan ciri tubuh berwarna cokelat, dan adanya spines pada pronotumnya (Purnomo,2010).

B.                 Kelompok Parasitoid
Parasitoid adalah serangga yang hidup pada serangga lain yang lebih besar sebagai inangnya. Parasitoid hanya bersifat parasit hanya ketika fase pradewasa. Serangga yang bersifat sebagai parasitoid anatara lain dari ordo Hymenoptera, Diptera, dan sebagian Strepsiptera. Berdasarkan fase inang hama yang diserang parasitoid, dikelompokkan atas parasitoid telur, parasitoid larva atau nimfa, parasitoid pupa, dan parasitoid serangga dewasa. Parasitoid berkembang dan mencapai fase imago pada seekor serangga inang, memarasit serangga inang pada saat parasitoid berada dalam periode preimago. Setelah menjadi imago,  parasitoid hidup bebas di luar inangnya. Biasanya dalam suatu serangga inang dapat hidup lebih dari satu parasitoid. Parasitoid memiliki inang yang lebih spesifik daripada predator. Beberapa contoh parasitoid yang diamati pada saat praktikum :



1.    Parasitoid ulat daun kubis (ichneumonid)
 









Ordo                            : Hymenoptera
Famili                          : Ichneumonidae
Rentang inang             : oligofaga
Cara menyerang          : menyerang inang dengan cara memakannya dari luar
Tubuhnya terbagi menjadi 3 bagian utama: kepala, thorax, dan abdomen. Ciri khas utama dari anggota Hymenoptera adalah adanya "pinggang” berukuran ramping yang menghubungkan bagian dada dengan perutnya, sehingga tubuhnya bisa menekuk dengan mudah. Di kepala tawon terdapat sepasang mata majemuk, yaitu mata yang terdiri dari kumpulan lensa mata yang lebih kecil. Selain sepasang mata majemuk tadi, tawon juga memiliki 3 buah oselus (mata sederhana) di puncak kepalanya. Oselus tidak digunakan untuk melihat, melainkan untuk mendeteksi intensitas cahaya di sekitarnya sehingga mereka bisa tahu kapan harus memulai dan mengakhiri aktivitasnya. Tawon juga memiliki sepasang rahang bawah (mandibula) yang bisa digunakan untuk berbagai aktivitas seperti menjepit benda, mencabut serat kayu, dan bahkan untuk membunuh serangga lain. Bagian lain yang terdapat di kepala tawon adalah sepasang antena yang berbuku-buku untuk mendeteksi rangsangan kimia. Warna cangkang luarnya bervariasi di mana pada tawon dari famili Vespidae, tubuhnya berwarna mencolok kuning dan hitam sebagai peringatan bagi hewan lain agar tidak mengganggunya bila tidak ingin disengat.Tubuh tawon juga nyaris tidak diselubungi rambut. Semua tawon memiliki sayap (kecuali tawon betina dari famili Mutillidae) berwarna transparan. Sayap ini jumlahnya 2 pasang dan bergerak seirama di mana jika sayap depan naik, maka sayap belakang juga ikut bergerak naik (Anonim, 2013).

2.    Parasitoid larva ulat jengkal (Aleiodes indiscretus )
 










Ordo                            : Hymenoptera
Famili                          : Braconidae
Rentang inang             : Oligofaga
Cara menyerang            :  masuk lubang larva Lophobaris di cabang lada dan terus menempatkan telurnya di atas larva tersebut, kemudian ia mundur keluar
            Braconidae sebagian besar endoparasitoid larva kumbang, lepidoptera, lalat, dan sawflies. Panjang imago kurang dari 13 cm. Abdomen panjang melebihi torak + kepala. Braco, Chelonus, Cotesia dan Opius (Purnomo, 2010).
3.    Parasitoid larva penggulung daun pisang, lalat Tachinid (Sturmia sp.)
Ordo                            : Diptera
Famili                         : Tachinidae
Rentang inang             : Oligofaga
Cara menyerang          : masuk ke dalam inang, melali pencernaan atau telur parasitoid tertelan oleh larva inang

Lalat Tachinid seperti lalat rumah yang berbulu tebal. Tempayak Tachinid ada di dalam ulat atau binatang lain. Lalat ini digunakan untuk mengendalikan hama secara hayati. Lalat Tachinid hinggap di atas ulat dan meletakkan telur di atas ulat atau ke dalam tubuhnya. Ulat berusaha menghindar, tapi telur dimasukkan dengan cepat. Jenis Tachinid lainnya meletakkan ribuan telur atau larva pada daun yang dimakan oleh ulat. Jika telur itu sampai ke perut ulat, menetas dan larva mulai makan ulat dari dalam,  maka ulat akan mati (Anonim, 2000).
 famili Tachinidae sangat spesifik memparasiti hama penggerek batang tebu. Serangga anggota ordo Diptera meliputi serangga pemakan tumbuhan, pengisap darah, predator dan parasitoid. Serangga dewasa hanya memiliki satu pasang sayap di depan, sedang sayap belakang mereduksi menjadi alat keseimbangan berbentuk gada dan disebut halter . Pada kepalanya juga dijumpai adanya antena dan mata facet. Tipe alat mulut bervariasi, tergantung sub ordonya, tetapi umumnya memiliki tipe penjilat-pengisap, pengisap, atau pencucuk pengisap. Pada tipe penjilat pengisap alat mulutnya terdiri dari tiga bagian yaitu bagian pangkal yang berbentuk kerucut disebut rostum bagian tengah yang berbentuk silindris disebut haustellum bagian ujung yang berupa spon disebut labellum atau oral disc (Wulan, 2012).
4.    Parasitoid telur pada batang padi (Trichogramma japonicum)
 









Ordo                            : Hymenoptera
Famili                          : Trichogrammatidae
Rentang inang             : polifaga
Cara menyerang          : memburu dan memangsa telor-telor dari penggrek batang padi sehingga telor-telor tersebut akan mati sebelum berubah menjadi ulat.
            Karakter morfologi Trichogramma japonicum adalah sebgai berikut: imago jantan dan betina berwarna kuning kecoklatan, mata berwarna merah dan toraks berwarna hitam; panjang imago 0,4-0,5 mm, antena betina berbentuk gada, berbulu pendek dan tumbuh jarang (hampir tidak berbulu), antena jantan bentuk lurus dan banyak ditumbuhi bulu/rambut-rambut. Karakter kebugaran T. japonicum menunjukkan potensinya untuk digunakan sebagai agen pengendali hayati, keperidian mencapai 34.8±9,01 telur, laju survival 51,9±18,60%. Siklus hidup T. japonicum pendek yaitu rata-rata 10+0,8 hari, hal tersebut sangat menguntungkan untuk digunakan sebagai agensia hayati dalam mengendalikan hama penggerek batang padi, mengingat serangan PBP terjadi di sepanjang pertumbuhan tanaman padi. Dengan demikian parasitoid akan berkembang secara kontinyu hingga mencapai 9-10 generasi selama satu musim tanam (Yunus, 2013).
     Parasitoid famili Trichogrammatidae ordo Hymenoptera termasuk serangga polifag dan dapat menyerang beberapa ordo serangga hama termasuk Lepidoptera, Coleoptera, Diptera, Heteroptera, Hymenoptera dan Neuroptera. Di Indonesia, parasitoid telur Trichogrammatidae telah diketahui menyerang hama penggerek tebu, penggerek batang padi, penggerek polong kedelai, dan penggerek tongkol jagung, selain itu juga dijumpai menyerang hama pada kapas, bit gula, anggur, kubis, apel, tomat, tebu, sayuran dan cemara (Yunus, 2013) .

C.                Kelompok Patogen
Pada kelompok ini, ditekankan pada yang menyebabkan infeksi pada musuhnya. Patogen atau penyebab penyakit dapat berupa organisme, yang tergolong dalam dunia tumbuhan, dan bukan organisme yang biasa disebut fisiophat. Sedangkan organisme dapat dibedakan menjadiparasit dan saprofit.
Klasifikasi patogen terbagi menjadiVirus, bakteri, fungi/jamur, protozoa dan nematoda. Contoh pathogen yang menjadi musuh alami/ agensia pengendali hayati:
1.    Gejala serangan terinfeksi jamur (Metarrhizium anisopliae pada uret Oryctes rhinoceros).


                                                                                                    







 











Ordo                            : Moniliales
Famili                          : Moniliaceae
Cara menyerang            : masuk ke tubuh serangga melalui spirakel dan pori-pori atau kutikula dari tubuh serangga.

Morfologi dari Metarhizium yang telah banyak diketahui yaitu konidiofor tumbuh tegak, spora berbentuk silinder atau lonjong dengan panjang 6-16 mm, warna hialin, bersel satu, massa spora berwarna hijau zaitun.  Metarhizium sp. tumbuh pada pH 3,3-8,5 dan memerlukan kelembaban tinggi.  Radiasi sinar matahari dapat menyebabkan kerusakan pada spora.  Suhu optimum bagi  pertumbuhan dan perkembangan spora berkisar pada 25-30oC.  Metarhizium mempunyai miselia yang bersepta, dengan konidia yang berbentuk lonjong. Metarhizium anisopliae bersifat saprofit pada media buatan, awal mula pertumbuahannya adalah tumbuhnya konidium yang membengkak dan mengeluarkan tabung-tabung kecambah (Anonim, 2010).
infeksi oleh jamur ini mengakibatkan kemampuan makan pada uret menurun dan timbul bintik coklat pada bagian integumen tetapi larva masih tetap hidup. Larva yang telah mati tubuhnya mengeras, kaku, dan busuk kering, serta keluar konidia berwarna kelabu. Tubuh larva berwarna putih karena cendawan berkembang memebentuk hifa dan akan berwarna hijau pada saat spora terbentuk. Penularan jamur ini dapat melalui persinggungan atau masuk melalui makanan. Jamur ini dapat diperbanyak secara konvensional dengan menggunakan media jagung atau beras kemudian disebar dalam sarang-sarang uret (Sutoyo, 1997).

2.    Kultur/biakan jamur entomopatogen Beauveria bassiana (Bb)

 









(http://id.wikipedia.org/wiki/Beauveria_bassiana)






 











Ordo                            : Hypocreales
Famili                          : Cordycipitaceae
Cara menyerang              : masuk ke dalam tubuh inang, reproduksi di dalam satu atau lebih jaringan inang, kemudian kontak dan menginfeksi inang baru
Cara cendawan  Beauvaria bassiana  menginfeksi tubuh serangga dimulai dengan kontak inang, masuk ke dalam tubuh inang, reproduksidi dalam satu atau lebih jaringan inang, kemudian kontak dan menginfeksi inang baru. B. bassiana masuk ke tubuh serangga inang melalui kulit, saluran pencernaan, spirakel dan lubang lainnya. Inokulum jamur yang menempel pada tubuh serangga inang akan berkecambah dan berkembang membentuk tabung kecambah, kemudian masuk menembus kulit tubuh
Penembusan dilakukan secara mekanis dan atau kimiawi dengan mengeluarkan enzim atau toksin. Pada proses selanjutnya, jamur akan bereproduksi di dalam tubuh inang. Jamur akan berkembang dalam tubuh inang dan menyerang seluruh jaringan tubuh, sehingga serangga mati. Miselia jamur menembus ke luar tubuh inang, tumbuh menutupi tubuh inang dan memproduksi konidia. Dalam hitungan hari, serangga akan mati.[4] Serangga yang terserang jamur B. bassiana akan mati dengan tubuh mengeras seperti mumi dan jamur menutupi tubuh inang dengan warna putih.
Dalam infeksinya, B. bassiana akan terlihat keluar dari tubuh serangga terinfeksi mula-mula dari bagian alat tambahan (apendages) seperti antara segmen-segmen antena, antara segmen kepala dengan toraks , antara segmen toraks dengan abdomen dan antara segmen abdomen dengan cauda (ekor). Setelah beberapa hari kemudian seluruh permukaan tubuh serangga yang terinfeksi akan ditutupi oleh massa jamur yang berwarna putih. Penetrasi jamur entomopatogen sering terjadi pada membran antara kapsul kepala dengan toraks atau di antara segmen-segmen apendages demikian pula miselium jamur keluar pertama kali pada bagian-bagian tersebut (Anonim, 2012).

3.    Biakan bakteri entomopatogen Bacillus thuringiensis (Bt)
 










Ordo                            : Bacillales
Famili                          : Bacillaceae
Cara menyerang          : toksin Cry tersebut akan dilepas bersamaan dengan spora ketika terjadi pemecahan dinding sel. Apabila termakan oleh larva insekta, maka larva akan menjadi inaktif, makan terhenti, muntah, atau kotorannya menjadi berair
Bacillus thuringiensis merupakan salah satu bakteri patogen pada serangga. Ciri-ciri Morfologi B. thuringiesis antara lain (Iren, 2009):
1.      mempunyai sel vegetatif berbentuk batang dengan ukuran panjang 3 – 5 mm dan lebar 1,0 – 1,2 mm,
2.       mempunyai flagella,
3.       membentuk spora berbentuk oval, letaknya subterminal, berwarna hijau kebiruan dan berukuran 1,0 – 1,3 m,
4.      spora relatif tahan terhadap pengaruh fisik dan kimia,
5.       pembentukan spora terjadi dengan cepat pada suhu 35° - 37°C,
6.       spora mengandung asam dipikolinik (DPA), 10-15% dari berat kering spora,
7.       sel-sel vegetatif dapat membentuk suatu rantai yang terdiri dari 5 - 6 sel,
8.       bersifat gram positif,
9.       aerob tetapi umumnya anaerob fakultatif,
10.   dapat tumbuh pada media buatan,
11.   suhu untuk pertumbuhan berkisar antara 15°- 40°C. 
Protein atau toksin Cry tersebut akan dilepas bersamaan dengan spora ketika terjadi pemecahan dinding sel. Apabila termakan oleh larva insekta, maka larva akan menjadi inaktif, makan terhenti, muntah, atau kotorannya menjadi berair. Bagian kepala serangga akan tampak terlalu besar dibandingkan ukuran tubuhnya. Selanjutnya, larva menjadi lembek dan mati dalam hitungan hari atau satu minggu. Bakteri tersebut akan menyebabkan isi tubuh insekta menjadi berwarna hitam kecoklatan, merah, atau kuning, ketika membusuk. Berbagai macam spesies B. thuringiensis telah diisolasi dari serangga golongan koleoptera, diptera, dan lepidoptera (Anonim,  2013).
4.    Biakan nematoda entomopatogen Steinernema spp.
 









Ordo                            : Dorylaimida
Famili                          : Steinernematidae
Cara menyerang          : menginfeksi larva
Ciri-ciri Nematoda Steinernema spp. tersebut adalah Badan halus, ukuran tubuh > 500 – 900 milimikron, kepala halus tidak bertanduk, dan ekor tumpul (BPP, 2012).
 Nematoda menginfeksi larva yang menyebabkan larva berubah warna pada bagian pangkal tubuhnya. Larva yang sehat pada pangkal tubuhnya berwarna kehitaman sedangkan larva yang terinfeksi bakteri berwarna keputihan. Larva yang terinfeksi lama-kelamaan akan mati membusuk dan mengeluarkan aroma yang tidak enak (bau busuk).



IV.             KESIMPULAN
1.        Beberapa jenis serangga dapat berperan sebagai musuh alami, baik itu berupa predator, parasitoid ataupun patogen  bagi hama yang menyerang tanaman.
2.        Keunggulan dan kelemahan musuh alami :
a.    Predator : daya tanggap terhadap mangsa rendah jadi kalau ada mangsa gerakan dan terkamannya sangat lamban (kelemahan), sedangkan keunggulannya adalah ukurannya yang lebih besar, biasanya mudah ditakuti oleh mangsa dan mangsa-mangsa kecil lebih mudah untuk diterkam.
b.    Parasitoid : keunggulannya ukurannya yang relatif kecil mempermudah masuk pada inang yang relative lebih besar, kerjanya langsung pada jaringan mangsayakni dengan mengganggu system dalam tubuh sehingga lebih efektif, namun karena  monofag/oligofag maka hanya bisa digunakan pada inang-inang tertentu saja.
c.    Patogen : daya penularan /serangan penghambat mobilitas hama dengan cepat, namun daya carinya sangat rendah.




DAFTAR PUSTAKA

Anonim.  1991. Kunci Determinasi Serangga. Kanisius. Yogyakarta

Anonim. 2000. Musuh Alami dan Hama Pada Kapas. Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Jakarta.
Anonim, 2010. Jamur Metarhizium anisopliae.< http://p2aph.wordpress.com/2010/01/21/jamur-metarhizium-anisopliae/>. Di akses tanggal 11 April 2013

Anonim, 2011. Bila Perompak dapat Makanan. < http://aj-xplored.blogspot.com/2011/06/bila-perompak-dapat-makanan.html>. Di akses tanggal 11 April 2013


Anonim, 2011. Ordo Hemiptera Kepik – Kepik .< http://kesehatanlingkungansby.blogspot.com/2011/01/ordo-hemiptera-kepik-kepik.html>. Di akses tanggal 5 April 2013.

 

Anonim, 2012. Beauveria bassiana. < http://id.wikipedia.org/wiki/Beauveria_bassiana>. Di akses tanggal 5 April 2013

 

Anonim, 2013. Bacillus thuringiensis. <http://id.wikipedia.org/wiki/Bacillus_thuringiensis>. Di akses tanggal 11 April 2013

 

Anonim, 2013. Belalang Sentadu.< http://id.wikipedia.org/wiki/Belalang_sentadu>. Di akses tanggal 5 April 2013

 

Anonim, 2013. Tawon.< http://id.wikipedia.org/wiki/Tawon>. Di akses 11 april 2013

                        
Bonaro, O., A. Lurette, C. Vidal, and J. Fargues. 2007. Modelling temperature-dependent bionomics of Bemiisa tabaci (Q-biotype). Physiological Entomology 32: 50 – 55.

BPP, 2012. Nematoda Entomopatogen ( NEP ).< http://bpptiris.blogspot.com/2012/08/nematoda-entomopatogen-nep.html>. Di akses tanggal !! April 2013



Daisugi, 2011. Anatomi Kumbang Koksi (Ladybug Anatomy). < http://jujujitu.blogspot.com/2011/07/ladybug-anatomy-kumbang-kepik-koksi.html>. Di akses tanggal 5 April 2013

 

Halil, L. 2011. Kumbang Helm Musuh Alami dan Hama. < http://saungsumberjambe.blogspot.com/2011/10/kumbang-helm-musuh-alami-dan-hama.html>. Di akses 11 April 2013


Heagle, A.S., J. C. Burns, D. S. Fisher, And J. E. Miller. 2002. Effects of carbon dioxide enrichment on leaf chemistry and reproduction by twospotted spider mites (Acari: Tetranychidae) on white clover. Environ. Entomol 31: 594-601.

Iren, 2009. Bacillus thuringiensis. < http://env-iren.blogspot.com/2009/03/bacillus-thuringiensis-ciri-ciri.html>. Di akses 11 April 2013


Istianto, M. 2008. Pemanfaatan Minyak/Senyawa Atsiri Dalam Pengendalian Populasi Hama Tanaman. <http://www.horti-tech.com>. Diakses pada 06 April 2013.

Kartasapoetra, A. G. 1987. Hama Tanaman Pangan dan Perkebunan. Bumi Aksara. Jakarta.

Mahrub, E., dan S. Mangoendihardjo. 1989. Pengendalian Hayati. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Purnomo, H. 2010. Pengantar Pengendalian Hayati. Andi, Yogyakarta.

Sutoyo. 1997. Metode penularan M. anisopliae terhadap pertumbuhan larva Oryctes rhinoceros L. Kumpulan Makalah I Entomologi Murni. Perhimpunan Entomologi Indonesai. Yogyakarta

Wagiman, F. X. 2003. Hama Tanaman: Cemiri Morfologi, Biologi dan Gejala Serangan. Jurusan Hama Penyakit Tanaman, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Wulan, 2012. Penggunaan Parasitoid Telur Dan Larva Sebagai Agens Pengendali Hayati Efektif Terhadap Hama Penggerek Tebu. < http://myrealact.blogspot.com/2012_06_01_archive.html>. Di akses tanggal 11 April 2013


Yeti, T. 2011. Orthetrum Testaceum ( Capung ). < http://kancanedewe.blogspot.com/2011/08/orthetrum-testaceum-capung.html>. Di akses tanggal 5 April 2013

 

Yunus, M. 2013. Penggunaan Parasitoid Trichogramma Sp. Untuk Mengendalikan Hama Penggerek Batang Padi. < http://mohammadyunus.wordpress.com/2009/10/04/penggunaan-parasitoid-trichogramma-sp-untuk-mengendalikan-hama-penggerek-batang-padi/>. Di akses tanggal 11 April 2013



Tidak ada komentar: