Kamis, 15 Maret 2012

Perkembangan Budaya Pertanian Di Indosesia


Pada mulanya Tahun 1877 sudah dicetuskan peraturan perundang undangan yang berkait dengan karantina (tumbuhan), yakni Ordonansi 19 Desember 1877 (Staatsblad No.262) tentang
larangan pemasukan tanaman kopi dan biji kopi dari Srilanka. Pada tahun 1914 sebagai tindak lanjut dari Ordonansi 28 Januari 1914 (Staatsblad No.161) penyelenggaraan kegiatan perkarantinaan secara institusional di Indonesia secara nyata baru dimulai oleh sebuah organisasi pemerintah bernama Instituut voor Plantenzekten en Cultures (Balai Penyelidikan Penyakit Tanaman dan Budidaya). Pada tahun 1985 Direktorat Jenderal Peternakan menyerahkan pembinaan unit karantina hewan, sedangkan Badan Litbang Pertanian menyerhkan pembinaan unit karantina tumbuhan, masing-masing kepada Sekretariat Jenderal Departemen Pertanian. Hingga pada akhirnya, pada tahun 2001 terbentuklah Badan Karantina Pertanian, Organisasi eselon I di Departemen Pertanian melalui Keppres No. 58 Tahun 2001.
            Perkembangan pertanian di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Selain berbagai ancaman akibat bencana alam, dan perubahan iklim, pertanian juga terancam oleh kerusakan tanah yang makin mengeras karena intensifikasi penggunaan pupuk. Melalui kebijakan Program Insus 1969 dari pemerintah, intensitas penggunaan pupuk kimia meningkat. Akibatnya residu tanah menumpuk, hama meningkat, beragam dan resisten terhadap obat-obatan pertanian.
            Sementara dari pihak petaninya sendiri telah mengalami hal-hal yang dapat mengancam hilangnya kemandirian petani. Yaitu kriminalisasi petani berupa tuntutan hukum terhadap sekitar 16 petani dari Kediri dan sekitarnya. Salah satunya Burhana Juwito Muhammad Ali, anggota dari Paguyuban Bina Tani Makmur Kediri yang telah menjalani hukuman lima bulan penjara karena tuduhan pelanggaran sertifikasi pembenihan. Padahal kenyataannya Burhana tidak pernah melakukan sertifikasi pembenihan.
            “Sebagai ujung tombak negara, petani masih terjajah secara ekonomi dan mental meski bukan secara fisik,” kata Burhana saat testimoni dalam Musyawarah Nasional IPPHTI di Garut November lalu.
            Dia mencontohkan kalau dulu petani dapat membeli benih murah karena pemerintah memfasilitasi petani untuk mendapatkan induk. Sehingga setiap penangkar dapat menangkar di tempat masing-masing dengan persaingan bebas yang mengakibatkan harga benih murah. Namun dengan adanya PMA dan pemodal asing yang tendensinya untuk tenaga kerja dan alih teknologi semua jadi berubah.
            Harga benih jagung yang seharusnya Rp 2200 per kilogram, sekarang menjadi Rp 45 ribu per kilogram. Dengan penjualan senilai sekitar Rp 47 ribu, petani hanya untung Rp 2000. Tetapi PMA dapat menjual kembali seharga 100 ribu rupiah per kilogram. Menurutnya benih jagung sangat besar keuntungannya dibandingkan padi sehingga perusahaan asing turut bermain di dalamnya.
            “Kami yang berupaya meringankan petani dengan melakukan pembenihan sendiri secara legal justru dipenjarakan selama lima bulan,” ungkap Burhana.
            Dengan melakukan pembenihan sendiri, paguyuban petani mampu menjual benih jagung seharga 15 ribu per kilogram. Untuk itu dirinya bersama petani lainnya berharap mendapat fasilitas dalam penangkaran. Namun sebagai penangkar untuk benih hibrida, saat ini masih sulit dalam pelegalan pembenihan, seperti harus melakukan uji coba di 20 tempat dalam dua musim berbeda, benih induk sulit didapat, induk dari luar negeri juga harus melalui tahap modal asing.
            “Dengan benih lokal yang harganya murah, justru pemerintah setempat mempersulit. Padahal semestinya Menteri atau Sekjen Pertanian tidak demikian dan jangan hanya menerima informasi sepihak, tetapi harus mengkonfrontasikannya dengan kami sebagai petani,” harap Burhana.
Menanggapi keluh kesah Burhana, Dr Ir Hasanuddin Ibrahim sebagai Sekretaris Jendral    Departemen Pertanian di saat yang sama menyampaikan sangat prihatin. Namun tanpa informasi yang lengkap tentang kasus Burhana, pihaknya tidak dapat memberi banyak komentar.
“Kalau ada pesan bagi Departemen Pertanian, kami akan mengevaluasi. Jika ternyata ada kesalahan dari kasus itu, maka harus ada pembersihan nama baik,” kata Ibrahim.
            Menurutnya pembenihan tidak diatur, siapa saja bebas melakukan. Bila pembenihan sendiri hasilnya bagus dan dapat bersaing dengan perusahaan asing, itulah yang diharapkan dari petani. Tetapi ketika mau komersialisasi seharusnya didaftarkan agar tidak dituduh memalsu.
Mengenai kondisi tanah yang mengeras, menurutnya menjadi tangung jawab dalam perlakuan terhadap lingkungan. Untuk bisa mengembalikan kesuburan tanah, Deptan memperhatikan dengan melakukan pengembangan pertanian organik, integrasi ternak pertanian yang sudah lama, sehingga bisa dimanfaatkan untuk biogas dan pupuk.
            Deptan juga mengembangkan kontrol mutu produk agar tidak membahayakan kesehatan, packagingnya tidak menggunakan bahan berbahaya seperti formalin, pemutih beras dan kenakalan pedagang lain untuk membuat produk tahan lama.
            Perubahan sistem pemerintahan yang sentralistik di era Orde Baru menjadi otonomi daerah juga mempengaruhi dalam hal penyebaran dan pemahaman informasi. Maka yang terpenting adalah komunikasi program antara pusat dan daerah.
            Di Indonesia masih ada yang menggunakan Metode pertanian tradisional yang efektif untuk melindungi masyarakat dari dampak krisis global. Pertanian berbasis masyarakat dapat digunakan sebagai sarana melawan pertanian industri yang merusak lingkungan. Pertanian bukan sekadar bagaimana meningkatkan hasil, tetapi juga menjaga kualitas lingkungan hidup. Keberlanjutan adalah premis pokoknya, bukan profit semata, dan itu sudah dipraktikan turun-temurun oleh masyarakat petani kita.
            Masyarakat adat Dayak, misalnya, memiliki pengetahuan lokal tentang cara berladang yang menyelesaikan persoalan lingkungan hidup yang justru diabaikan oleh kalkulasi ekonomi modern. Masyarakat Banjar menemukan sistem pertanian sawah lestari dengan masukan rendah menghasilkan delapan ton padi per hektar. Semua itu membuktikan pengetahuan berbasis tradisi tidak berjalan di tempat.
            Fenomena ini memberi kesan: sikap hidup back to nature menjadi sebuah trend. Tetapi cukupkah itu? Bagaimana jika lingkungan sekitarnya tidak mendukung? Modernisasi pertanian selama kurang lebih tiga dasawarsa telah gagal mengangkat harga diri, martabat, dan kesejahteraan petani, mayoritas penduduk Indonesia. Kini sudah saatnya Pemerintah mengakui hak-hak petani, seperti kebebasan menjual beras atau menyimpan gabah untuk benih.
            Sudah saatnya sekarang ditegaskan, bahwa petani diperbolehkan menanam padi jenis lokal. Sudah saatnya juga dipikirkan insentif maupun kredit bagi petani yang bertani organik, bukan hanya mempertahankan kredit usaha tani yang notabene lebih banyak untuk pembelian pupuk dan racun hama, yang sekarang selain mahal harganya, juga sering terjadi kelangkaan. Demikian juga, hendaknya petani diberi kebebasan menentukan pilihan dan membentuk organisasi petani yang diperlukan untuk memperjuangkan kepentingan petani.pertanian telah dirusak oleh sistem yang memaksa petani menggunakan pupuk kimia dan pestisida yang telah ditentukan merknya. Kerugian petani yang diakibatkan kerusakan tanah semakin diperparah oleh kebijakan-kebijakan yang akhirnya memangkas kemerdekaan petani, misalnya dengan keharusan penggunaan bibit padi.
            Pertanian pedesaan saat ini masih menghadapi tiga masalah besar, yaitu lemahnya modal sosial, kemiskinan dan kerusakan sumberdaya pertanian yang semakin membesar. Visi Pembangunan Pertanian 2025 yang sesuai adalah pertanian pedesaan yang berdaya saing tinggi, berkeadilan dan berkelanjutan. Salah satu kebijakan pertanian yang penting adalah kebijakan pemberdayaan sosio-budaya pedesaan. Oleh karena itu, pembangunan pertanian 2025 membutuhkan kerangka kebijakan sosio-budaya yang komprehensif.
            Ada lima elemen sosio-budaya utama yang harus dikembangkan, yaitu kompetensi SDM, kepemimpinan lokal, tata nilai, keorganisasian dan manajemen, usaha tingkat desa dan struktur sosial berbasis penguasaan sumberdaya agraria. Kerangka kebijakan sosio-budaya mengacu pada kombinasi antara tingkat masyarakat dan jangka waktu di satu sisi, dan elemen sosio-budaya yang ditransformasikan di sisi lain. Modal sosial seperti penegakan sistem hukum pedesaan dan desentralisasi pemerintahan hingga tingkat desa, harus dianggap sebagai kunci sukses pencapaian kesejahteraan masyarakat pertanian pedesaan yang berkelanjutan.