Situs
Gunung Padang merupakan situs prasejarah peninggalan kebudayaan Megalitikum di Jawa Barat. Tepatnya berada di perbatasan Dusun Gunungpadang
dan Panggulan, Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur.Lokasi dapat dicapai 20 kilometer dari
persimpangan kota kecamatan WarungKondang, dijalan antara Kota Kabupaten
Cianjur dan Sukabumi. Luas kompleks "bangunan" kurang lebih 900 m²,
terletak pada ketinggian 885 m dpl, dan areal situs
ini sekitar 3ha, menjadikannya sebagai kompleks punden berundak terbesar diAsia Tenggara.
Penemuan
Laporan pertama
mengenai keberadaan situs ini dimuat pada Rapporten
van de Oudheidkundige Dienst (ROD,
"Buletin Dinas Kepurbakalaan") tahun 1914. Sejarawan Belanda,N. J. Krom juga telah menyinggungnya pada tahun
1949. Setelah sempat "terlupakan", pada tahun 1979 tiga penduduk
setempat, Endi, Soma, dan Abidin, melaporkan kepada Edi, Penilik Kebudayaan
Kecamatan Campaka, mengenai keberadaan tumpukan batu-batu persegi besar dengan
berbagai ukuran yang tersusun dalam suatu tempat berundak yang mengarah ke Gunung Gede.. Selanjutnya,
bersama-sama dengan Kepala Seksi Kebudayaan Departemen Pendidikan Kebudayaan
Kabupaten Cianjur, R. Adang Suwanda, ia mengadakan pengecekan. Tindak lanjutnya
adalah kajian arkeologi, sejarah, dan geologi yang dilakukan Puslit Arkenas pada tahun 1979 terhadap situs ini.
Lokasi
Lokasi situs
berbukit-bukit curam dan sulit dijangkau. Kompleksnya memanjang, menutupi
permukaan sebuah bukit yang dibatasi oleh jejeran batu andesit besar berbentuk
persegi. Situs itu dikelilingi oleh lembah-lembah yang sangat dalam.
Tempat ini sebelumnya memang telah dikeramatkan oleh warga setempat. Penduduk menganggapnya sebagai tempat Prabu
Siliwangi, raja Sunda,
berusaha membangun istana dalam semalam.
Fungsi
Fungsi situs
Gunungpadang diperkirakan adalah tempat pemujaan bagi masyarakat yang bermukim
di sana pada sekitar 2000 tahun S.M. Hasil
penelitian Rolan Mauludy dan Hokky Situngkir menunjukkan kemungkinan adanya
pelibatan musik dari beberapa batu megalit yang ada. Selain Gunungpadang,
terdapat beberapa tapak lain di Cianjur yang merupakan peninggalan periode
megalitikum.
Penelitian
Sejak Maret 2011 Tim
peneliti Katastrofi Purba yang dibentuk kantor Staf Khusus Presiden Bidang
Bantuan Sosial dan Bencana, dalam survei untuk melihat aktifitas sesar aktif
Cimandiri yang melintas dari Pelabuhan Ratu sampai Padalarang melewati Gunung
Padang. Ketika tim melakukan survei bawah permukaan Gunung Padang diketahui
tidak ada intrusi magma. Kemudian tim peneliti melakukan survei bawah permukaan
Gunung Padang secara lebih lengkap dengan metodologi geofisika, yakni
geolistrik, georadar, dan geomagnet di kawasan Situs tersebut. Hasilnya,
semakin meyakinkan bahwa Gunung Padang sebuah bukit yang dibuat atau dibentuk
oleh manusia (man-made). Pada November 2011, tim yang dipimpin oleh Dr. Danny
Hilman Natawidjaja, terdiri dari
pakar kebumian ini semakin meyakini bahwa Gunung Padang dibuat oleh manusia
masa lampau yang pernah hidup di wilayah itu.
Survei Pemerintah Indonesia
Hasil survei dan
penelitian kemudian dipresentasikan pada berbagai pertemuan ilmiah baik di
tingkat nasional maupun internasional, bahkan mendapat apresiasi dari Prof. Dr.Oppenheimer. Kemudian tim
katastrofi purba menginisiasi pembentukan tim peneliti yang difokuskan untuk
melakukan studi lanjutan di Gunung Padang, dimana para anggota peneliti diperluas
dan melibatkan berbagai bidang disiplin ilmu dan berbagai keahlian. Sebut saja
Dr. Ali Akbar seorang peneliti prasejarah dari Universitas Indonesia, yang
memimpin penelitian bidang arkeologi. Kemudian Pon Purajatnika, M.Sc., memimpin
penelitian bidang arsitektur dan kewilayahan, Dr. Budianto Ontowirjo memimpin
penelitian sipil struktur, dan Dr. Andang Bachtiar seorang pakar paleosedimentologi,
memimpin penelitian pada lapisan-lapisan sedimen di Gunung Padang. Seluruh tim
peneliti itu tergabung dalam Tim Terpadu Penelitian Mandiri Gunung Padang yang
difasilitasi kantor Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana.
Menariknya seluruh pembiayaan penelitian dilakukan secara swadaya para anggota
peneliti.
Berbagai temuan tim
terpadu penelitian mandiri Gunung Padang ini akhirnya dilakukan uji radiometrik
karbon (carbon dating, C14). Menariknya hasil uji
karbon pada laboratorium Beta Miami, di Florida AS,
menera bahwa karbon yang didapat dari pengeboran pada kedalaman 5 meter sampai
dengan 12 meter berusia 14.500-25.000 tahun. Hasil laporan selengkapnya
sebagai-berikut:
Bangunan di bawah
permukaan situs Gunung Padang terbukti secara ilmiah lebih tua dari Piramida
Giza. Hal ini merujuk pada hasil
pengujian karbon dating Laboratorium Batan (Indonesia) dengan metoda LSC C14
dari material paleosoil di kedalaman -4m pada lokasi bor
coring 1, usia material paleosoil adalah 5500 +130 tahun BP yang lalu.
Sedangkan pengujian material pasir di kedalaman -8 s.d. -10 m pada lokasi
coring bor 2 adalah 11000 + 150 tahun.
Hasil Laboratorium Beta Analytic Miami
Hasil mengejutkan dan
konsisten dikeluarkan oleh laboratorium Beta Analytic Miami, Florida,minggu
lalu tambahnya dimana umur dari lapisan dari kedalaman sekitar 5 meter sampai
12 meter bada bor 2 umurnya sekitar 14500 – 23000 SM/atau lebih tua. Sementara
beberapa sample konsisten dengan apa yg di lakukan di Lab BATAN. Kita tahu laboratorium
di Miami Florida ini bertaraf internasional yang kerap menjadi rujukan berbagai
riset dunia terutama terkait carbon dating.
Kedua laboratorium
ini menjawab keraguan banyak pihak atas uji sampel di laboratorium BATAN. Sebelumnya,tim
riset terpadu mandiri telah melakukan uji terkait usia Gunung Padang di
laboratorium BATAN, namun tidak banyak
respon positif, bahkan meragukannya. Padahal hasil yang diperoleh oleh kedua
laboratorium itu tidak banyak berbeda, Sudah saatnya kita percaya terhadap
kemampuan dan kualitas para ilmuwan serta laboratorium nasional seperti BATAN, berikut hasil uji
di kedua laboratorium tersebut:
1. Umur dari lapisan
tanah di dekat permukaan (60 cm di bawah permukaan) ,sekitar 600 tahun SM
(hasil carbon dating dari sampel yg diperoleh Arkeolog, Dr.
Ali Akbar,anggota tim riset terpadu di Laboratorium Badan Atom Nasional (BATAN);
2. Umur dari lapisan
pasir-kerikil pada kedalaman sekitar 3-4 meter di Bor-1 yang melandasi Situs
Gunung Padang di atasnya (sehingga bisa dianggap umur ketika Situs Gunung
Padang di lapisan atas dibuat) sekitar 4700 tahun SM atau lebih tua (diambil
dari hasil analisis BATAN;
3. Umur lapisan tanah
urug di kedalaman 4 meter diduga man made stuctures (struktur yang dibuat oleh
manusia)dengan ruang yang diisi pasir (di kedalaman 8-10 meter) di bawah Teras
5 pada Bor-2,sekitar 7600-7800 SM (Laboratorium BETA Miami, Florida);
4. Umur dari pasir
yang mengisi rongga di kedalaman 8-10 meter di Bor-2, sekitar 11.600-an tahun
SM atau lebih tua (Lab Batan);
5. Umur dari lapisan
dari kedalaman sekitar 5 meter sampai 12 meter,sekitar 14500 – 25000 SM/atau
lebih tua (lab BETA Miami Florida).
Sebelumnya tim riset
katastropik purba dan dilanjutkan tim terpadu penelitian mandiri Gunung Padang
menemukan beberapa hal penting:
Penelitian
Lebih Lanjut
Pembukaan semak-semak
pada sisi Tenggara teras 5 ke arah bawah menemukan 20 tingkat terasering punden
berundak disusun oleh masyarakat yang berbudaya gotong royong mempunyai
kemampuan teknologi yang maju. Terasering punden berundak ini mematahkan
hipotesis penelitian sebelumnya bahwa situs gunung Padang hanya terdiri dari 5
teras pada area seluas 900 m2. Dengan dibukanya 20 tingkat terasering
menunjukan bahwa situs gunung Padang sangat besar. Diperkirakan zona inti utama
situs gunung Padang lebih besar dari 25 hektare.
Pembukaan semak-semak
dan hasil pemindaian bumi dengan Georadar pada sisi Timur teras 2 ke arah bawah
menemukan bentuk struktur pintu gerbang buatan manusia. Hasil pengambilan
sampel dengan bor coring 1, memastikan struktur buatan manusia sampai dengan kedalaman
-27m dari permukaan teras 3. Hasil pengambilan sampel dengan bor coring 2,
menemukan struktur rongga2 besar buatan manusia yang berisi pasir dengan
butiran yang sangat seragam. Sedangkan, hasil pengukuran dengan geomagnetik
menemukan anomali medan magnetik yang besar pada teras 2.
Adanya tanda-tanda
berbentuk gambar atau cekungan buatan manusia pada setiap batu yang berada di
teras 1 s.d. 5. Penelitian mengenai makna bentuk gambar dan aksara yang
terbentuk pada batu breksi andesit merupakan hal terbaru.
Selain riset dan
survei, kajian pustaka terus dilakukan. Naskah Bujangga Manik dari abad ke-16 menyebutkan suatu
tempat "kabuyutan"
(tempat leluhur yang dihormati oleh orang Sunda) di hulu Ci Sokan, sungai yang
diketahui berhulu di sekitar tempat situs ini. Menurut legenda, Situs Gunung
Padang merupakan tempat pertemuan berkala (kemungkinan tahunan) semua ketua
adat dari masyarakat Sunda Kuna. Saat ini situs ini juga masih dipakai oleh
kelompok penganut agama asli Sunda untuk melakukan pemujaan.
Penelitian mengenai
keberadaan bangunan di bawah permukaan Gunung Padang telah dilakukan oleh
beberapa tim ahli. Tim dari Badan Geologi ESDM, Kemenristek, dan TimArkeologi Nasional sudah menyimpulkan bahwa tidak ada
bangunan di bawah permukaan gunung padang. Adapun luasan gunung padang adalah
900 meter persegi seperti sejak ditemukan NJ Krom. Ini kesimpulan akhir yang
secara resmi hasil risetnya ada tertulis. Tim keempat, Tim terpadu Riset
mandiri berkesimpulan berbeda dan sudah menemukan bukti kuat sebagai fakta awal
bahwa ada bangunan di bawah permukaan gunung Padang, dan luasannya jauh lebih
besar dari yang ada sekarang seperti yang disimpulkan ketiga tim lainnya.
Dengan prinsip menghargai perbedaan dan menjaga etika riset, maka menjadi
kewajiban tim terpadu untuk membuktikan lebih lanjut keseluruhan hipotesanya.
Jika dilihat dari
atas, gunung padang terlihat sangat persis bentuknya dengan piramida yang ada
di mesir. Umurnya diperkirakan jauh lebih tua dari pada piramida mesir sekitar
10.000 tahun sebelum masehi. Karena sesungguhnya gunung padang bukanlah gunung
melainkan bangunan berbentuk mirip dengan piramida yang telah terkena timbunan
debu vulkanik sehingga terlihat seperti gunung yang sudah ditumbuhi pepohonan.
Didalam gunung padang dipercaya memiliki ruang di dalamnya yang kini telah
tertimbun tanah.
Dalam situs gunung
padang ditemukan alat musik yang berupa batu persegi panjang yang bergelombang
pada bagian atasnya, jika setiap gelombang dipukul, maka akan mengeluarkan
bunyi yang berbeda antar gelombang satu dengan yang lain.
Situs Gunung Padang
Adalah Piramida
Dhani Irawan -
detikNews Jakarta - Misteri masih menyelimuti situs Gunung Padang yang berada
di Kabupaten Cianjur. Seorang arkeolog asal Bosnia Herzegovina, Semir Sam
Osmanagich meyakini jika situs megalitik itu bisa dimasukkan ke dalam kategori
peradaban piramida.
"Struktur
bangunan piramida semuanya sama. Situs Gunung Padang sangat penting
keberadaannya bagi ilmu pengetahuan dalam dan luar negeri," kata Sam saat
diskusi soal situs Gunung Padang, di Auditorium Plaza Bank Mandiri, Jl Gatot
Subroto, Rabu (14/5/2014).
Menurut Sam, piramida
adalah sebuah bangunan atau bukit yang dimodifikasi oleh manusia. Namun
pertanyaan yang kemudian muncul adalah siapa yang membangun situs itu dan
bagaimana.
Sam pun mengatakan
pembangunan piramida mempertimbangkan hal mendasar seperti lingkungan, sumber
daya alam dan sumber daya manusia. Sam melanjutkan, para pembangun piramida
adalah manusia jenius yang mampu memanipulasi alam dan memanfaatkan energi di
sekitarnya.
Sebenarnya situs ini
sudah diteliti sejak 1914. Kemudian yang terbaru adalah Tim Terpadu Riset
Mandiri Gunung Padang yang melakukan penelitian independen pada tahun 2011
sampai 2013.
Kontroversi
Ada beberapa orang
yang percaya kalau situs gunung padang memiliki keterkaitan dengan situs
piramida yang ada di mesir, dikarenakan bentuknya yang mirip dengan ruang di
dalamnya dan karena umurnya yang jauh lebih tua dibandingkan piramida yang ada
di mesir. Saat ini situs padang masih berada dalam masa pengkajian lebih
lanjut.
Menelusuri misteri
situs Gunung Padang.
Usia "piramida" Gunung Padang diperkirakan 4.700-10.900 tahun sebelum
Masehi—bandingkan dengan piramida Giza di Mesir, yang hanya 2.500 SM. Namun
pembuktian belum maksimal, dan ini menyebabkan pakar geologi masih ragu
terhadap "piramida" itu. Terlalu dini untuk diumumkan. Oleh karena
itu Tim Terpadu Riset Mandiri Gunung Padang melanjutkan penelitiannya pada 2013
ini. Hingga saat ini
Gunung Padang sudah menjadi buah bibir setelah Tim Katastrofi Purbameneliti
patahan gempa Sesar Cimandiri, sekitar
empat kilometer ke arah utara dari situs tersebut.
Kontroversi merebak
setelah Andi Arief merilis ada sejenis piramida di bawah
Gunung Padang pada awal tahun lalu. Dia menyebutkan situs tersebut memiliki
ruang dan seperti buatan manusia. Kecurigaannya berawal dari bentuk Gunung
Padang yang hampir segitiga sama kaki jika dilihat dari utara. Sebelumnya, Tim
juga menemukan bentuk serupa di Gunung Sadahurip di Garut dan Bukit Dago Pakar di Bandung saat
meneliti Sesar Lembang. Andi Arief dan timnya direncanakan terus
melakukan penelitian dan survei untuk mengetahui lebih jauh bawah permukaan
Gunung Padang dengan berbagai metodologi, baik geofisika, arkeologi, paleosedimentasi,
arsitektur dan kawasan, dan lain-lain hingga Maret 2014. Namun, untuk
penggalian tidak dilakukan karena memerlukan biaya yang besar.
Menjelang akhir tahun
2012, para peneliti Tim Terpadu
Riset Mandiri Gunung Padang mengadakan pertemuan untuk
mengevaluasi hasil riset dan survei pada 2012 dan merencanakan riset lanjutan
di Gunung Padang. Pertemuan yang
diselenggarakan di Kantor Staf Khusus Presiden pada 18 Desember 2012 itu,
menghasilkan pandangan-pandangan baru dari para ahli yang tergabung dalam Tim Terpadu
Riset Mandiri memaparkan
dan mendiskusikan temuan-temuan riset dan langkah-langkah ke depan. Tim Geologi
memandang bahwa survei dan kajian yang dilakukan sudah mencapai 99% telah
mendapatkan data lengkap baik data hasil survei geolistrik, georadar, maupungeomagnetik, serta dan
alat bantu geofisika lainnya. Selain tentunya citra
satelit, foto IFSAR, kontur dan peta
model dijital elevasi (DEM). Dari berbagai data yang dihasilkan
itu, ditambah dengan pembuktian paleosedimentasi di beberapa titik bor sampling, serta
analisa petrografi, secara
saintifik bisa disimpulkan bahwa memang ada man-made structure di bawah permukaan situs Gunung
Padang.
Bangunan di bawah
permukaan ini juga dipastikan memiliki chamber dan bentuk-bentuk struktur lain
(dugaan goa atau lorong), serta kecenderungan adanya anomali magnetikdi berbagai
lintasan alat geofisika.
Temuan ini makin diperkuat dengan temuan Tim arkeologi yang berhasil menemukan
artefak-artefak di barat dan timur bangunan Gunung Padang juga tersingkap, terutama di luar
situs definitif saat ini. Bahkan temuan awal artefak berupa batu melengkung di
sisi timur situs, menunjukkan dugaan kuat sebagai “pintu masuk” ke dalam
bangunan bawah permukaan Gunung Padang. Temuan arkeologi ini, merupakan temuan
terbaru sejak situs ini pertama kali ditemukan.
Di samping itu, Tim
sipil dan arsitek sudah sampai tahap maju, selain memaparkan berbagai jenis
potongan batu (yang menunjukkan campur tangan manusia dan teknologi masa itu),
juga memaparkan luasan situs yang jauh lebih besar dari yang ada sekarang. Tim
ini sudah menemukan struktur yang hampir mirip dengan temuan di Sumba Nusa Tenggara Barat.
Dalam waktu dekat
struktur imaginer yang lebih detail akan dibuat berdasarkan perbandingan yang
ada. Sementara Tim astronomi akan menyelesaikan temuan timeline tahun pembuatan
yang bisa secara saintifik dilakukan di luar hasil radio-carbon dating yang
sudah dilakukan sampai validasi di dua lab yaitu labpratorium Badan Atom Nasional dan laboratorium radio-carbon di Miami Florida, Amerika
Serikat.
Untuk ke depannya,
peneliti akan berkonsentrasi pada lokasi yang berada di luar situs sehingga
bentuk dan isi di dalamnya akan terbuka sekaligus.
Penemuan Makam Tua
Pada awal Januari
2013 Tim Arkeologi yang dikomandoi arkeolog muda Universitas Indonesia, Ali Akbar,
kembali merilis temuan 5 makam tua di areal yang kini menjadi objek
penelitiannya. Hanya dua dari lima makam di sisi teras kelima areal situs itu
yang memiliki artefak. Berdasarkan pengamatan, makam tersebut ada di areal
situs megalitik sekitar tahun 1900-an. Dari beberapa
makam yang ada, terdapat satu makam yang sedikit memberikan gambaran mengenai
keberadaan makam dari sepasang nisan makam tersebut. Bila dilihat dari bentuk
makamnya maka makam tersebut adalah milik umat Islam. Satu nisan bertuliskan huruf latin dan satunya lagi bertuliskan huruf Arab.
Dengan ditemukannya makam tua tersebut, maka ada masyarakat yang tinggal dan
menetap di situ. Kemudian ada jeda sampai NJ Krom menemukan situs tersebut dan
melaporkannya ke pemerintah Belanda pada 1914.
Pada salah satu nisan
tertera tulisan latin yang menerangkan nama jasad yang dimakamkan bernama
"Hadi Winata" yang wafat pada tahun 1947. Almarhum tertulis juga
wafat pada usia 68 tahun, artinya almarhum lahir pada tahun 1879. Di nisan
lainnya, makam yang sama, tertera pula tulisan Arab, di nisan tersebut terbaca
'prabu' serta terdapat tahun hijriyah,
1356 H. Diperkirakan kemungkinan jasad yang dimakamkan itu merupakan golongan
bangsawan bila sekilas diamati dari nama latin yang tercantum di nisan dan juga
tulisan 'Prabu' di nisan berhuruf Arab. Para peneliti masih terus bekerja untuk
bisa menaksir usia makam lainnya yang ada di areal Gunung Padang.
Penelitian Lanjutan
Awal Januari- Maret
2013 Tim Terpadu
Riset Mandiri yang
dipimpin oleh Dr. Danny Hilman
Natawidjaja (ahli
kebumian), Dr. Ali Akbar (arkeolog), Dr. Andang Bachtiar(paleosedimentolog)
kembali melakukan penelitian dan survei lanjutan, menyatakan bahwa, di bawah
permukaan Gunung Padang: Ada struktur geologi tak alamiah, dengan hipotesis
Teknologi canggih zaman purba. Untuk membuktikan hal tersebut, dilakukan
penggalian arkeologi dan survei geolistrik detil di sekitar penggalian lereng
timur bukit, di luar pagar situs cagar budaya.
Tim Dr. Ali Akbar
menemukan bukti yang mengkonfirmasi hipotesa tim bahwa di bawah tanah Gunung
Padang ada struktur bangunan buatan manusia yang terdiri dari susunan batu
kolom andesit, sama seperti struktur teras batu yang sudah tersingkap, dan
dijadikan situs budaya di atas bukit. Terlihat di kotak gali permukaan fitur,
susunan batu kolom andesit ini sudah tertimbun lapisan tanah setebal setengah
sampai dua meter yang bercampur bongkahan pecahan batu kolom andesit. Kotak
gali arkeologi tim tersebut memperlihatkan permukaan bangunan yang disusun dari
batu-batu kolom andesit yang sudah tertutup oleh lapisan tanah dengan
bongkah-bongkah pecaan batuan. Batu kolom ini posisinya memanjang sejajar
lapisan.
Batu-batu kolom
andesit disusun dengan posisi mendekati horisontal dengan arah memanjang hampir
barat-timur (sekitar 70 derajat dari utara ke timur - N 70 E), sama dengan arah
susunan batu kolom di dinding timur-barat teras satu, dan undak lereng terjal
yang menghubungkan teras satu dengan teras dua. Dari posisi horisontal
batu-batu kolom andesit dan arah lapisannya, dapat disimpulkan dengan pasti,
bahwa batu-batu kolom atau “columnar joints” ini bukan dalam kondisi alamiah.
Batu-batu kolom hasil pendinginan dan pelapukan batuan lava/intrusi vulkanis di
alam maka arah memanjang kolomnya akan tegak lurus terhadap arah lapisan atau
aliran seperti ditemukan di banyak tempat di dunia. Kenampakan susunan batu-kolom
yang terkuak di kotak gali memang terlihat sangat rapi dan menyerupao kondisi
alami.
Di akhir 2012 lalu,
tim arkeolog lain yang bekerja terpisah dan sudah ikut menggali menyimpulkan
batu-batu kolom andesit di bawah tanah Gunung Padang merupakan sumber batuan
alamiahnya; mungkin karena mereka belum mempertimbangkan aspek geologinya
dengan lengkap, dan juga tidak mengetahui data struktur bawah permukaan seperti
diperlihatkan oleh hasil survei geolistrik.
Semen purba
Di antara batu-batu
kolom, ditemukan material pengisi yang disebut sebagai semen purba. Material
ini menata dan menyatukan batu kolom yang sudah pecah berkeping-keping. Makin
ke bawah kotak gali, semen purba ini terlihat makin banyak, dan merata setebal
2 sentimeteran di antara batu-batu kolom. Selain di kotak gali, semen purba ini
juga sudah ditemukan pada tebing undak antara teras satu dan dua, dan juga pada
sampel inti bor dari kedalaman 1 sampai 15 meter dari pemboran yang dilakukan
oleh tim pada tahun 2012 lalu di atas situs.
Ahli geologi tim dan
juga pembina pusat Ikatan Ahli Geologi Indonesia pusat, DR. Andang Bachtiar,
berdasarkan hasil analisis kimia yang dilakukannya pada sampel semen purba dari
undak terjal teras satu ke dua, menemukan fakta bahwa komposisi yang terkandung
di dalam semen tersebut sangat kuat sebagai perekat. Material semen ini
mempunyai komposisi utama 45% mineral besi dan 41% mineral silika, 14% mineral
lempung, dan juga unsur karbon.
Barangkali ia
menggabungkan konsep membuat resin, atau perekat modern
dari bahan baku utama silika, dan penggunaan konsentrasi unsur besi yang
menjadi penguat bata merah. Tingginya kandungan silika mengindikasikan semen
ini bukan hasil pelapukan dari batuan kolom andesit di sekelilingnya yang miskin silika.
Kemudian, kadar besi di alam, bahkan di batuan yang ada di pertambangan mineral
bijih sekalipun umumnya tak lebih dari 5% kandungan besinya, sehingga kadar
besi “semen Gunung Padang” ini berlipat kali lebih tinggi dari kondisi alamiah.
Oleh karena itu dapat
disimpulkan material di antara batu-batu kolom andesit ini adalah adonan semen
buatan manusia. Artinya, teknologi masa itu kelihatannya sudah mengenal metalurgi.
Andang menjelaskan, bahwa satu teknik umum untuk mendapatkan konsentrasi tinggi
besi adalah dengan melakukan proses pembakaran dari hancuran bebatuan dengan
suhu sangat tinggi. Mirip pembuatan bata merah, yaitu membakar lempung kaolinit
dan illit untuk menghasilkan konsentrasi besi tinggi pada bata tersebut.
Metalurgi
purba
Indikasi adanya
teknologi metalurgi purba diperkuat lagi oleh temuan segumpal material seperti
logam sebesar 10 cm oleh tim Ali Akbar pada kedalaman 1 meter di lereng timur
Gunung Padang. Material logam berkarat ini mempunyai permukaan kasar
berongga-rongga kecil dipermukaannya. Diduga material ini adalah adonan logam
sisa pembakaran (“slug”) yang masih bercampur dengan material karbon yang
menjadi bahan pembakarnya, bisa dari kayu, batu bara atau lainnya.
Rongga-rongga itu kemungkinan terjadi akibat pelepasan gas CO2 ketika
pembakaran.
Hasil analisis
radiometrik dari kandungan unsur karbonn pada beberapa sampel semen di bor inti
dari kedalaman 5 – 15 meter yang dilakukan pada 2012 di laboratorium bergengsi
BETALAB, Miami, USA pada pertengahan 2012 menunjukan umur dengan kisaran antara
13.000 sampai 23.000 tahun lalu. Kemudian, hasil carbon dating dari lapisan
tanah yang menutupi susunan batu kolom andesit di kedalaman 3-4 meter di Teras
5 menunjukkan umur sekitar 8700 tahun lalu.[18]
Sebelumnya hasil
carbon dating yang dilakukan di laboratorium BATAN dari pasir dominan kuarsa
yang mengisi rongga di antara kolom-kolom andesit di kedalaman 8-10 meter di
bawah Teras lima, juga menunjukkan kisaran umur sama yaitu sekitar 13.000 tahun
lalu. Fakta itu sangat kontroversial karena pengetahuan yang diyakini peneliti
saat ini belum mengenal atau mengakui ada peradaban (tinggi) pada masa purba
itu, di manapun di dunia. Penemuan tersebut memunculkan dugaan bahwa di masa
prasejarah Indonesia, telah hidup peradaban yang menyerupai kemajuan peradaban
Mesir saat pembangunan piramida.
Struktur bangunan
dari susunan batu-batu kolom berdiameter sampai 50 cm dengan panjang bisa
lebih dari 1 meter ini sudah sangat spektakuler karena bagaimanakah masyarakat
purbakala dapat menyusun batu-batu besar yang sangat berat ini demikian rapi
dan disemen pula oleh adonan material yang istimewa. Selanjutnya survei
geolistrik yang dilakukan di sekitar lokasi pengalian oleh tim
geologi/geofisika dari LabEarth LIPI, menguak fakta baru mengenai bangunan
purba di bawah permukaan ini. Survei terbaru ini adalah survei mendetail
sebagai lanjutan dari puluhan lintasan survei geolistrik 2-D, 3-D dan survei
georadar yang sudah dilakukan pada tahun 2011, 2012 dan awal 2013 di sekujur
badan Gunung Padang, dari kaki sampai puncak bukit. Hasil survei geolistrik
memperlihatkan bahwa lapisan susunan batu kolom yang terlihat di kotak gali
keberadaannya dapat diikuti terus sampai ke atas bersatu di bawah badan situs
Gunung Padang di atas bukit, dan juga melebar sampai jauh ke kaki bukit.
Penampang struktur
bawah permukaan berdasarkan resistivitas batuan dari lintasan geolistrik
melewati kotak gali (testpit) arkeologi. Lapisan bangunan dari susunan kolom
andesit terlihat menerus ke bagian bawah dari situs di atas bukit dan juga ke
kaki bukit. Di bawahnya terlihat geometri unik yang diduga masih bangunan.
Peralatan survey memakai Supersting R8 dan software Earth Imager. Model di atas
memakai metoda Average Resistivity. Nilai RMS menunjukkan bahwa hasil simulasi
dari model ini mempunyai perbedaan/tingkat kesalahan hanya 4% dibandingkan
dengan data hasil survey.
Batuan Lava
Seorang ahli
arsitektur Pon Purajatniko, anggota tim terpadu yang juga pernah menjabat Ketua
Ikatan Ahli Arsitektur Jawa Barat, menyatakan bahwa struktur teras-teras Gunung
Padang mirip situs Machu Picchu di Peru.
Sampai saat ini
penggalian dilakukan baru sampai kedalaman 4 meteran saja, namun survei
geolistrik memperlihatkan di bawahnya masih ada kenampakan struktur bangunan
dengan geometri yang terlihat menakjubkan sampai kedalaman lebih dari 10 meter.
Hasil survei geolistrik, dan georadar juga sudah dapat memperlihatkan struktur
(geologi) bawah permukaan yang membentuk morfologi bukit Gunung Padang adalah
lapisan batuan dengan ketebalan 30-50 meter yang mempunyai nilai tahanan
listrik (resistivitas)
sangat tinggi (ribuan Ohm-Meter) berbentuk seperti lidah dengan posisi hampir
horisontal, selaras dengan bukit memanjang utara-selatan, dan miring landai ke
arah utara. Jadi selaras juga dengan undak-undak teras yang dibangun di
atasnya.
Lapisan batu
berbentuk seperti lidah ini juga mempunyai bidang miring yang rata ke arah
barat dan timur bukit selaras dengan kemiringan lerengnya. Lapisan lava ini
berada pada kedalaman lebih dari 10 meter di bawah permukaan. Dari data
pemboran yang dilakukan oleh Dr. Andang Bachtiar dan juga analisis mikroskopik
batuan dari sampel inti bor yang dilakukan oleh DR. Andri Subandrio, ahli
geologi batuan gunung api dari Laboratorium Petrologi ITB, dapat dipastikan
tubuh batuan dengan resistivitas tinggi ini adalah batuan lava andesit, sama
seperti tipe batu kolom dari situs Gunung Padang. Hal lain cukup menarik dari
analisa petrologi adalah temuan banyaknya retakan-retakan mikroskopik pada
sayatan tipis batu kolom andesit yang diduga non-alamiah karena retakan itu
memotong kristal-kristal mineral penyusunnya.
Dari banyak penampang
geolistrik, terlihat lidah lava andesit ini mempunyai leher intrusi (sumber
terobosan batuan vulkanis dari bawah) berlokasi di area lereng selatan dari
situs Gunung Padang. Jadi setelah cairan panas intrusi magma mencapai permukaan
kemudian mengalir ke utara, dan setelah mendingin membentuk lidah lava
tersebut. Yang masih menjadi pertanyaan adalah adalah apakah tubuh batuan lava
di perut Gunung Padang ini adalah sumber dari batu-batu kolom andesit yang
dipakai untuk menyusun situs? Kemungkinan hal ini benar karena sampai saat ini
tidak ditemukan ada sumber batuan kolom andesit dalam radius beberapa kilometer
dari Gunung Padang. Masalahnya tidak ada bekas-bekas penambangan, atau lapisan
lava yang tersingkap di area Gunung Padang.
Jadi, apabila orang
berhipotesa bahwa sumber batuannya dari dalam bukit, maka mau tidak mau harus
juga mengasumsikan dulunya lapisan lava itu pernah tersingkap, atau ditambang
oleh manusia purba, kemudian baru batu-batu kolom yang sudah diambil lalu
disusun-ulang untuk menutupi sekujur badan lava menjadi satu mahakarya monumen
arsitektur besar yang luar biasa.
Perlu juga dicatat
bahwa mengekstraksi batu-batu kolom andesit dari batuan induknya bukanlah hal
mudah karena harus dapat memisahkan batu-batu besar dan berat tersebut dengan
utuh dari batuan induknya dalam jumlah sangat besar. Hal ini berbeda dengan
penambangan batuan biasa yang tidak perlu kuatir dengan batu yang pecah dan
dapat dilakukan dengan dengan peledakan dinamit. Pada abad kini atau ratusan
tahun sebelumnya, di dunia ini tak pernah ada penambangan batu-batu kolom
andesit untuk dipakai sebagai bata bangunan.
Perkembangan penelitian situs Gunung Padang
Tim Terpadu Riset
Mandiri masih terus melakukan eskavasi (pemboran) untuk membuktikan keberadaan
struktur bangunan dan ruang-ruang di bawah kedalaman 4-5 meter. Sleain itu,
perkiraan umur situs juga masih diteliti dengan memeriksa sampel-sampel dari
situs ini. Dugaan sementara adalah situs Gunung Padang ini tidak dibangun dalam
satu masa, tetapi melibatkan beberapa kebudayaan. Misalnya, yang membuat
batu-batu kolom menjadi menhir-menhir, belum tentu sama dengan masyarakat yang
membuat susunan batu-batu kolom dengan semen purba. Demikian juga bangunan
susunan batu kolom andesit di permukaan, atau yang sudah tertimbun beberapa
meter di bawah, belum tentu dibangun satu masa dengan struktur bangunan di
bawahnya lagi. Situs ini dapat menjadi bukti peradaban tertua manusia yang
tanpa diketahui hilang dari informasi pra-sejarah Indonesia.
Temuan Besar Pertama
Sejak Indonesia Merdeka
Sejak tahun 1998
Situs Gunung Padang sudah menjadi cagar budaya berdasarkan Kepmendikbud tahun
1998 dan dikenal sebagai situs megalitik yang menempati area seluas 3.094,59m2
di puncak bukit, berupa struktur teras‐teras yang disusun
batu‐batu kolom (columnar joint rocks). Situs ini
sudah mulai diteliti oleh Arkenas, Balar Arkeologi (BALAR) dan institusi
lainnya sejak tahun 1980‐an dan terus berlanjut setelah 1998 sampai
tahun 2014. Sejalan dengan itu situs ini juga sudah dijadikan tempat wisata.
Walaupun situs megalitik ini sebetulnya sangat unik, cukup besar, dan berada
pada lokasi yang sangat asri, namun sampai tahun 2011 masih jarang dikunjungi
wisatawan.
Baru setelah Tim
Terpadu Riset Mandiri (TTRM) melakukan penelitian sejak Oktober 2011 dan
kemudian giat mempublikasikan hasil penelitiannya ke meda-massa (scientific
journalism) yang cukup mengejutkan dan menuai kontroversi, maka situs Gunung
Padang mulai ramai dikunjungi masyarakat berbagai kalangan dari berbagai
daerah. Dari pengunjung yang hanya puluhan menjadi ribuan setiap minggunya.
Sekarang, situs Gunung Padang sudah menjadi buah bibir dimana-mana diberbagai
kalangan baik di dalam negeri ataupun luar negeri.
TTRM adalah yang
pertama di Indonesia merintis penelitian dalam wilayah cagar budaya dengan
pendekatan multi disiplin dan menggunakan hampir semua teknologi pemindaian
permukaan dan bawah permukaan yang biasa dipakai dalam disiplin ilmu geologi
dan geofisika.
Sebenarnya pendekatan
dan teknologi yang digunakan ini sudah dilakukan di dunia internasional dan
sudah masuk dalam materi perkuliahan di bidang arkeologi, namun untuk Indonesia
prakteknya masih sangat langka. Hal ini menjadi salah satu alasan kenapa
penelitian TTRM menjadi kontroversi, khususnya di kalangan ahli arkeologi
bahkan juga ahli geologi.
Selain penggunaan
konsep dan metoda baru sejak ditemukannya situs‐situs besar budaya
pada masa pemerintahan Inggris dan Belanda, seperti Candi Borobudur dan
Trowulan , belum pernah ada lagi temuan monumen besar peradaban masa lalu
sehingga temuan monumen besar di bawah permukaan situs Gunung Padang. Temuan
ini boleh dibilang menjadi temuan besar pertama sejak zaman kemerdekaan
Indonesia. Hal ini tentu juga menyebabkan banyak kekagetan dan 'kecanggungan'
dalam menyikapi dan menindaklanjutinya.
Temuan baru hasil
penelitian TTRM sejak tahun 2011 sampai awal 2014 adalah sebagai berikut:
1) Penyebaran lateral situs megalitik (Lapisan 1) meliputi
seluruh bukit
Hasil survei lapangan
dan pemindaian struktur bawah permukaan hasil survei geolistrik dan georadar
dan juga survei arkeologi permukaan memperlihatkan bahwa Lapisan-1 melampar
tidak hanya di bagian atas bukit seperti yang didefinisikan oleh Kemendikbud 1998.
Namun melampar jauh sampai ke badan bukit seluas 15 hektar (±150.000 m2),
bahkan jika diukur dengan bagian 'halaman' situs mencapai 29 hektar.
2) Temuan Lapisan Batuan artifisial (lapisan bangunan) di
bawah permukaan
Di bawah permukaan
masih terdapat Lapisan-2 yang tersusun dari kolom‐kolom batu yang
serupa dengan yang di atas permukaan, namun tertata lebih rapih dan kompak
serta terdapat matriks perekat diantara batu‐batu kolomnya hingga
kedalaman 4‐5m. Di bawah Lapisan-2 hingg kedalaman 15
meter masih terdapat susunan lapisan batu‐batu kolom yang
diduga masih artifisial atau lapisan bangunan, disebut sebagai Lapisan-3 dan
Lapisan-4.
3) Temuan Lapisan 4
Formasi batuan lava
andesit alamiah yang diduga sudah dibentuk menjadi bagian inti dari bangunan.
Pemboran geologi menembus tubuh batuan lava andesit di kedalaman 15 meter
sesuai dengan hasil pemindaian georadar, geolistrik, dan seismik tomografi.
Tubuh lava ini kemungkinan merupakan formasi batuan alamiah Gunung padang tapi
sudah dipahat oleh manusia menjadi bagian inti dari bangunan Gunung Padang.
4) Dugaan keberadaan rongga‐rongga di bawah permukaan
Keberadaan rongga‐rongga
besar di bawah permukaan diindikasikan dengan konsisten dari banyak Lintasan
georadar dan geolistrik 2D, 3D dan seismik tomografi. Kemudian, pada dua lokasi
pemboran di sisi selatan (GP‐2) dan sisi timur (GP‐4)
di Teras-5 mengalami “partial” dan “total waterloss” dari sirkulasi air bor
(32.000 liter air).
5) Temuan lapisan tanah timbun
Lapisan tanah yang
menutup permukaan atas bukit Gunung Padang dominan berupa tanah timbun, bukan
residual soil. Hal ini jelas terlihat karena tidak adanya gradasi pelapukan dari
tanah di atasnya ke Lapisan-2, namun miliki kontak 'tegas'. Fakta lain yang
mengejutkan, sisi selatan Teras-5 ternyata ditimbun setebal 7 meter, ditunjukan
oleh eskavasi sedalam 3 meter, dan pemboran di GP‐2 (mencapai kedalaman
15 meter).
6) Analisa baru untuk pentarikhan Umur‐umur absolut (lapisan‐lapisan) situs dengan Carbon Dating
Penelitian terdahulu
dari tahun 1980 sampai 2011 tidak pernah lakukan penentuan umur situs secara
absolut, melainkan hany berdasarkan 'perkiraan' dengan mengklasifikasikan Situs
Gunung Padang sebagai produk budaya megalitik dari zaman pra‐sejarah
sesuai dengan literatur yang ada dan amat terbatas. Dalam hal ini baru TTRM
yang pertamakali dan masih satu‐satunya yang
melakukan penentuan umur absolut situs dengan metoda karbon dating, terlepas
dari kekurangannya. Hasil sementara mengindikasikan bahwa umur situs Lapisan-1
berkisar 500‐100 SM atau lebih muda, Lapisan-2 sekitar
5000 SM, dan Lapisan di bawahnya lebih tua dari 8000 SM. Umur karbon tertua
yang diambil dari sampel tanah diantara lapisan batuan, yakni berumur 26.000
tahun. Analisis lebih detil dan komprehensif diperlukan untuk verifikasi.
Setelah melalui
perjalanan panjang dan berliku‐liku akhirnya pada
tanggal 17 Agustus 2014 dibentuk Tim Nasional untuk Pelestarian dan Pengelolaan
Situs Gunung Padang, berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
nomor 225/P/2014. Tim nasional ini terdiri dari para peneliti yang berasal dari
TTRM ditambah para ahli dari berbagai institusi di seluruh Indonesia. Kemudian
berdasarkan perintah Presiden kepada Kepala Staf Angkatan Darat, dan penugasan
dari Mendikbud, serta dukungan penuh dari Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan
Permuseuman (PCBM) selaku Ketua Timnas kepada para peneliti, maka sejak 12
Agustus sampai dengan 2 Oktober 2014 dilakukan kegiatan penelitian bekerjasama
dengan TNI‐AD. Peran serta TNI dalam hal ini, yakni
membantu secara teknis dalam pelaksanaan penelitian dalam kerangka program
karya bakti sosial untuk menunjang kegiatan penelitian, membantu masyarakat
setempat, serta merenovasi infrastruktur pendukung situs.
Kegiatan penelitian
ini dimaksudkan untuk akselerasi riset dalam menuntaskan pembuktian temuan‐temuan
baru TTRM dan persiapan pra‐pemugaran serta
pengembangan kawasan, sesuai dengan amanat yang termuat dalam Keputusan
Gubernur Jawa Barat nomor 430.05/Kep.302‐Disparbud/2014, dan
nomor: 30.05/Kep.303‐Disparbud/2014, serta arahan Presiden RI yang
disampaikan langsung di Gunung Padang pada 25 Februari 2014. Selain itu,
penelitian ini juga dimaksudkan sebagai penelitian awal, yang hasilnya akan
dijadikan masukan yang akan ditindaklanjuti Tim Nasional Gunung Padang agar
dapat bergerak lebih cepat dalam menginisiasi program kerja penelitian
tim nasional ke depan.
Atas ketekunan dan
kerja keras para peneliti dan pasukan TNI, kegiatan penelitian berjalan dengan
baik, lancar, sangat efisien dan produktif. Walaupun dengan peralatan dan dana
masih menggunakan secara swadaya (mandiri). Hanya dalam waktu relatif singkat
(2 bulan) tim peneliti berhasil membuat kotak gali geologi‐arkeologi
sebanyak 11 buah (termasuk bekas tebing longsor yang dibersihkan) di berbagai
lokasi situs dan pemboran geologi di tiga lokasi yang di‐desain
untuk membuktikan hasil penelitian TTRM. Lokasi ekskavasi dinamakan: Alpha,
Beta‐1, Beta‐2, Charlie‐1,
Charlie‐2, Charlie‐3, Charlie‐4
Delta, Echo‐1, Echo‐2, dan Fanta dengan
kedalaman eskavasi bervariasi, dari 2 s.d. 5 meter, kecuali Echo‐1
sampai 11 meter. Khusus Beta‐2, tidak dikatakan
kotak gali, melainkan muka tebing longsor yang dibersihkan dari semak-belukar,
sehingga dapat terlihat struktur lapisan tanah dan batuannya untuk mendapatkan
data dan kemudian dianalisa. Lokasi pemboran dinamakan: GP‐5
(di Teras-5), GP‐6 dan GP‐7 (di Teras-2) dengan
kedalaman bervariasi secara berurutan, 35 meter, 22 meter, dan 22
meter, yang dilakukan untuk melengkapi data 4 lokasi pemboran sebelumnya (GP‐1,
2, 3, 4, pada 2012, 2013).
Hasil eskavasi dan
pemboran berhasil membuktikan temuan‐temuan TTRM. Hasil
pembersihan lereng‐lereng dari semak‐belukar
dan pepohonan liar, yang kemudian dilanjutka dengan pemotretan udara 3D digital
dengan menggunakan pesawat drone, kamera Go‐Pro dan AGI Software
dapat memperlihatkan bentuk bukit Gunung Padang secara utuh. Hasil fotografi
udara tersebut, secara nyata memperlihatkan sebagian terasering lapisan batuan
kolom di badan bukit, serta mengesankan keberadaan bangunan struktur mirip
piramida di bawah bukit. Selain itu, hasil penelitian pada kotak ekskavasi
berhasil membuktikan secara nyata dan tuntas tanpa keraguan keberadaan lapisan
batuan artifisial atau bangunan yang tertimbun tanah di bawah permukaan situs
megalitik di atas bukit dan juga di lereng‐lerengnya.
Pada kegiatan kali
ini yang menjadi fokus pembuktian adalah Lapisan-2 yang hanya tertimbun tidak
lebih dari 2‐3 meter di bawah permukaan tanah. Struktur
bangunan ini terbukti ada, dan melampar di bawah situs megalitik di atas bukit
sampai ke lereng badan bukitnya. Orientasi batu‐batu kolomnya sangat
teratur, kokoh dan rapih, nyaris sepintas seperti struktur "columnar
joint" alamiah (collonade). Perbedaan tegas antara batu kolom yang
tersusun secara artificial dan yang tersusun secara alamiah adalah: struktur
"columnar joint" alamiah terbentuk ketika lava atau cairan magma
membeku arah memanjang kolomnya selalu tegak lurus permukaan pendinginan
(=bidang lapisan), dan hubungan antar bidang kolomnya saling mengunci
(interlocking), sangat rapat, tanpa terisi matriks. Sedangkan di Gunung Padang
batuan kolomnya sejajar bidang lapisan, antar bidang permukaan kolom tidak
selalu saling mengunci, dan selalu dipisahkan oleh matriks (perekat atau semen)
rata‐rata setebal 5‐10cm, disusun secara
baik (artificial/man-made) oleh manusia pembangunnya.
Geometri dan struktur
susunan batuan artifisial, khususnya lapisan 2 dibuktikan oleh eskavasi dan
rekonstruksi bawah permukaan.
Disamping itu, bukti
arkeologis/arsitektur yang mendukung adalah ditemukan banyak artefak batu yang
berfungsi sebagai pasak‐pasak atau kolom‐kolom
batu yang sudah dipahat membentuk geometri tertentu, yang diduga berfungsi
sebagai 'pengunci' susunan batu, serta aspek‐aspek struktur
artifisial bangunan. Selain itu, ditemukan juga banyak artefak sangat unik
lainnya pada kedalaman 1-2 meter dibawah permukaan di mana Lapisan-2 berada. Di
bagian Teras-1 dan Teras-5, terlihat orientasi struktur kolom batu tegak lurus
dengan arah memanjang situs. Di atas bukit batu‐batu kolom ini,
umumnya horisontal sedangkan di lereng barat dan timur membentuk sudut sekitar
10‐150 derajat, searah dengan kemiringan
lerengnya. Di pawah permukaan pada galian ekskavasi di Teras-2 dan lereng timur
batu‐batu kolom ini secara unik disusun membentuk
sudut sekitar 150 (sudut tajam menghadap utara). Tahap selanjutnya, perlu
dilakukan eskavasi lebih ekstensif lagi untuk mengetahui arsitektur bangunan
lebih detil dan komprehensif.
Dalam kegiatan ini
sudah dilakukan usaha sistematis untuk meneliti keberadaan ruang‐ruang
di bawah permukaan, dan sudah mulai dilakukan. Hasilnya sudah didapatkannya
titik terang namun belum dapat dituntaskan karena keterbatasan waktu. Untuk
melanjutkannya, dibutuhkan waktu yang cukup, peralatan memadai, serta didukung
data bawah permukaan dan ekskavasi yang lebih ekstensif.
Gunung Padang Piramida
khas Nusantara
Terbuktinya struktur
bawah permukaan situs Gunung Padang, menunjukkan bahwa temuan ini bukan situs
megalitik cagar budaya biasa. Melainkan sebuah temuan monumen bangunan raksasa
yang unik dan luarbiasa dari leluhur bangsa Nusantara ribuan tahun sebelum
masehi. Bentuknya mirip dengan struktur piramida tapi tidak sama dengan
piramida di Mesir atau di Amerika selatan (peradaban Maya ataupun Mexico).
Monumen peradaban maju zaman prasejarah ini layak disebut sebagai
"Piramida khas Nusantara". Eksplorasi belum selesai namun bisa
dipastikan di dalamnya masih banyak menyimpan misteri warisan budaya
"beyond imagination".
Ke depan karena akan
memerlukan proses eskavasi yang sangat intensif maka disarankan mulai masuk ke
tahap pemugaran bersamaan dengan penelitian lanjutan, penanganannya harus
dilakukan secara multi‐disipliner dan lintas sektoral karena
menyangkut banyak aspek dan kepentingan. Termasuk aspek vital‐strategisnya
untuk dijadikan kebanggaan nasional dan simbol jati diri bangsa yang besar dan
luhur. Lebih jauh lagi, temuan besar di Gunung Padang dapat menjadi awal dan
model untuk eksplorasi‐penelitian lebih luas dalam mengungkap
kekayaan warisan leluhur di seluruh wilayah Indonesia.
Cianjuran
Seni Mamaos Tembang Sunda Cianjuran lahir dari hasil cipta,
rasa dan karsa Bupati Cianjur R. Aria Adipati Kusumahningrat
atau yang dikenal dengan sebutan Dalem Pancaniti yang menjadi
Pupuhu (Pemimpin) tatar Cianjur tahun 1834-1861.
Dengan keluhuran rasa seni Dalem Pancaniti, kesenian tersebut menjadi
inspirasi lahirnya suatu karya seni yang sekarang disebut Seni Mamaos
Tembang Sunda Cianjuran. Dalam tahap penyempurnaan hasil ciptaannya
Dalem Pancaniti dibantu oleh seniman kabupaten yaitu : Rd. Natawiredja,
Bapak Aem dan Maing Buleng. Para seniman tersebut mendapat izin dari Dalem
Pancaniti untuk menyebarkan lagu-lagu hasil ciptaan Dalem Pancaniti.
Setelah Dalem wafat tahun 1861, Bupati Cianjur dilanjutkan oleh putranya R.A.A. Prawiradiredja II (1861-1910), Seni Mamaos Tembang Sunda Cianjuran aturannya disempurnakan lagi, dengan diiringi oleh kempringan suara kecapi dan gelik suara suling. Sekarang ini Tembang Sunda Cianjuran sudah terkenal bukan saja di Nusantara, tetapi juga ke mancanegara. Untuk melestarikan kesenian tradisional, secara berkala diselenggarakan Pasanggiri Tembang Sunda Cianjuran, baik lokal maupun Regional/Nasional ( Jawa Barat , Banten dan DKI Jakarta ).
Setelah Dalem wafat tahun 1861, Bupati Cianjur dilanjutkan oleh putranya R.A.A. Prawiradiredja II (1861-1910), Seni Mamaos Tembang Sunda Cianjuran aturannya disempurnakan lagi, dengan diiringi oleh kempringan suara kecapi dan gelik suara suling. Sekarang ini Tembang Sunda Cianjuran sudah terkenal bukan saja di Nusantara, tetapi juga ke mancanegara. Untuk melestarikan kesenian tradisional, secara berkala diselenggarakan Pasanggiri Tembang Sunda Cianjuran, baik lokal maupun Regional/Nasional ( Jawa Barat , Banten dan DKI Jakarta ).
SEJARAH CIANJUR
Cianjur pertama kali didirikan oleh Raden Aria Wiratanu yang merupakan
putra R.A. Wangsa Goparana Dalem Sagara Herang pada tanggal 12 Juli
1677.
Pada pertengahan abad ke 17 ada perpindahan rakyat dari
Sagara Herang yang mencari tempat baru di pinggir sungai untuk bertani
dan bermukim. Babakan atau kampoung mereka dinamakan menurut menurut
nama sungai dimana pemukiman itu berada. Seiring dengan itu Raden
Djajasasana putra Aria Wangsa Goparana dari Talaga keturunan Sunan
Talaga, terpaksa meninggalkan Talaga karena masuk Agama Islam, sedangkan
para Sunan Talaga waktu itu masih kuat memeluk agama Hindu.Aria
Wangsa Goparana kemudian mendirikan Nagari Sagara Herang dan
menyebarkan Agama Islam ke daerah sekitarnya. Sementara itu Cikundul
yang sebelumnya hanyalah merupakan sub nagari menjadi Ibu Nagari tempat
pemukiman rakyat Djajasasana. Beberapa tahun sebelum tahun 1680 sub
nagari tempat Raden Djajasasana disebut Cianjur
(Tsitsanjoer-Tjiandjoer).
Dalem / Bupati Cianjur dari masa ke masa
1. R.A. Wira Tanu I (1677-1691)
2. R.A. Wira Tanu II (1691-1707)
3. R.A. Wira Tanu III (1707-1727)
4. R.A. Wira Tanu Datar IV (1927-1761)
5. R.A. Wira Tanu Datar V (1761-1776)
6. R.A. Wira Tanu Datar VI (1776-1813)
7. R.A.A. Prawiradiredja I (1813-1833)
8. R. Tumenggung Wiranagara (1833-1834)
9. R.A.A. Kusumahningrat (Dalem Pancaniti) (1834-1862)
10. R.A.A. Prawiradiredja II (1862-1910)
11. R. Demang Nata Kusumah (1910-1912)
12. R.A.A. Wiaratanatakusumah (1912-1920)
13. R.A.A. Suriadiningrat (1920-1932)
14. R. Sunarya (1932-1934)
15. R.A.A. Suria Nata Atmadja (1934-1943)
16. R. Adiwikarta (1943-1945)
17. R. Yasin Partadiredja (1945-1945)
18. R. Iyok Mohamad Sirodj (1945-1946)
19. R. Abas Wilagasomantri (1946-1948)
20. R. Ateng Sanusi Natawiyoga (1948-1950)
21. R. Ahmad Suriadikusumah (1950-1952)
22. R. Akhyad Penna (1952-1956)
23. R. Holland Sukmadiningrat (1956-1957)
24. R. Muryani Nataatmadja (1957-1959)
25. R. Asep Adung Purawidjaja (1959-1966)
26. Letkol R. Rakhmat (1966-1966)
27. Letkol Sarmada (1966-1969)
28. R. Gadjali Gandawidura (1969-1970)
29. Drs. H. Ahmad Endang (1970-1978)
30. Ir. H. Adjat Sudrajat Sudirahdja (1978-1983)
31. Ir. H. Arifin Yoesoef (1983-1988)
32. Drs. H. Eddi Soekardi (1988-1996)
33. Drs. H. Harkat Handiamihardja (1996-2001)
34. Ir. H. Wasidi Swastomo, Msi (2001-2006)
35. Drs. H. Tjetjep Muchtar Soleh, MM (2006-2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar