Pada
mulanya Tahun 1877 sudah dicetuskan peraturan perundang undangan yang berkait
dengan karantina (tumbuhan), yakni Ordonansi 19 Desember 1877 (Staatsblad
No.262) tentang
larangan pemasukan tanaman kopi dan biji kopi dari Srilanka. Pada tahun 1914 sebagai tindak lanjut dari Ordonansi 28 Januari 1914 (Staatsblad No.161) penyelenggaraan kegiatan perkarantinaan secara institusional di Indonesia secara nyata baru dimulai oleh sebuah organisasi pemerintah bernama Instituut voor Plantenzekten en Cultures (Balai Penyelidikan Penyakit Tanaman dan Budidaya). Pada tahun 1985 Direktorat Jenderal Peternakan menyerahkan pembinaan unit karantina hewan, sedangkan Badan Litbang Pertanian menyerhkan pembinaan unit karantina tumbuhan, masing-masing kepada Sekretariat Jenderal Departemen Pertanian. Hingga pada akhirnya, pada tahun 2001 terbentuklah Badan Karantina Pertanian, Organisasi eselon I di Departemen Pertanian melalui Keppres No. 58 Tahun 2001.
larangan pemasukan tanaman kopi dan biji kopi dari Srilanka. Pada tahun 1914 sebagai tindak lanjut dari Ordonansi 28 Januari 1914 (Staatsblad No.161) penyelenggaraan kegiatan perkarantinaan secara institusional di Indonesia secara nyata baru dimulai oleh sebuah organisasi pemerintah bernama Instituut voor Plantenzekten en Cultures (Balai Penyelidikan Penyakit Tanaman dan Budidaya). Pada tahun 1985 Direktorat Jenderal Peternakan menyerahkan pembinaan unit karantina hewan, sedangkan Badan Litbang Pertanian menyerhkan pembinaan unit karantina tumbuhan, masing-masing kepada Sekretariat Jenderal Departemen Pertanian. Hingga pada akhirnya, pada tahun 2001 terbentuklah Badan Karantina Pertanian, Organisasi eselon I di Departemen Pertanian melalui Keppres No. 58 Tahun 2001.
Perkembangan pertanian di Indonesia
saat ini sangat memprihatinkan. Selain berbagai ancaman akibat bencana alam,
dan perubahan iklim, pertanian juga terancam oleh kerusakan tanah yang makin
mengeras karena intensifikasi penggunaan pupuk. Melalui kebijakan Program Insus
1969 dari pemerintah, intensitas penggunaan pupuk kimia meningkat. Akibatnya
residu tanah menumpuk, hama meningkat, beragam dan resisten terhadap
obat-obatan pertanian.
Sementara dari pihak petaninya
sendiri telah mengalami hal-hal yang dapat mengancam hilangnya kemandirian
petani. Yaitu kriminalisasi petani berupa tuntutan hukum terhadap sekitar 16
petani dari Kediri dan sekitarnya. Salah satunya Burhana Juwito Muhammad Ali,
anggota dari Paguyuban Bina Tani Makmur Kediri yang telah menjalani hukuman
lima bulan penjara karena tuduhan pelanggaran sertifikasi pembenihan. Padahal
kenyataannya Burhana tidak pernah melakukan sertifikasi pembenihan.
“Sebagai ujung tombak negara, petani
masih terjajah secara ekonomi dan mental meski bukan secara fisik,” kata
Burhana saat testimoni dalam Musyawarah Nasional IPPHTI di Garut November lalu.
Dia mencontohkan kalau dulu petani
dapat membeli benih murah karena pemerintah memfasilitasi petani untuk
mendapatkan induk. Sehingga setiap penangkar dapat menangkar di tempat
masing-masing dengan persaingan bebas yang mengakibatkan harga benih murah.
Namun dengan adanya PMA dan pemodal asing yang tendensinya untuk tenaga kerja
dan alih teknologi semua jadi berubah.
Harga benih jagung yang seharusnya
Rp 2200 per kilogram, sekarang menjadi Rp 45 ribu per kilogram. Dengan
penjualan senilai sekitar Rp 47 ribu, petani hanya untung Rp 2000. Tetapi PMA
dapat menjual kembali seharga 100 ribu rupiah per kilogram. Menurutnya benih
jagung sangat besar keuntungannya dibandingkan padi sehingga perusahaan asing
turut bermain di dalamnya.
“Kami yang berupaya meringankan
petani dengan melakukan pembenihan sendiri secara legal justru dipenjarakan
selama lima bulan,” ungkap Burhana.
Dengan melakukan pembenihan sendiri,
paguyuban petani mampu menjual benih jagung seharga 15 ribu per kilogram. Untuk
itu dirinya bersama petani lainnya berharap mendapat fasilitas dalam
penangkaran. Namun sebagai penangkar untuk benih hibrida, saat ini masih sulit
dalam pelegalan pembenihan, seperti harus melakukan uji coba di 20 tempat dalam
dua musim berbeda, benih induk sulit didapat, induk dari luar negeri juga harus
melalui tahap modal asing.
“Dengan benih lokal yang harganya
murah, justru pemerintah setempat mempersulit. Padahal semestinya Menteri atau
Sekjen Pertanian tidak demikian dan jangan hanya menerima informasi sepihak,
tetapi harus mengkonfrontasikannya dengan kami sebagai petani,” harap Burhana.
Menanggapi
keluh kesah Burhana, Dr Ir Hasanuddin Ibrahim sebagai Sekretaris Jendral Departemen Pertanian di saat yang sama
menyampaikan sangat prihatin. Namun tanpa informasi yang lengkap tentang kasus
Burhana, pihaknya tidak dapat memberi banyak komentar.
“Kalau
ada pesan bagi Departemen Pertanian, kami akan mengevaluasi. Jika ternyata ada
kesalahan dari kasus itu, maka harus ada pembersihan nama baik,” kata Ibrahim.
Menurutnya pembenihan tidak diatur,
siapa saja bebas melakukan. Bila pembenihan sendiri hasilnya bagus dan dapat
bersaing dengan perusahaan asing, itulah yang diharapkan dari petani. Tetapi
ketika mau komersialisasi seharusnya didaftarkan agar tidak dituduh memalsu.
Mengenai
kondisi tanah yang mengeras, menurutnya menjadi tangung jawab dalam perlakuan
terhadap lingkungan. Untuk bisa mengembalikan kesuburan tanah, Deptan
memperhatikan dengan melakukan pengembangan pertanian organik, integrasi ternak
pertanian yang sudah lama, sehingga bisa dimanfaatkan untuk biogas dan pupuk.
Deptan juga mengembangkan kontrol
mutu produk agar tidak membahayakan kesehatan, packagingnya tidak menggunakan
bahan berbahaya seperti formalin, pemutih beras dan kenakalan pedagang lain
untuk membuat produk tahan lama.
Perubahan sistem pemerintahan yang
sentralistik di era Orde Baru menjadi otonomi daerah juga mempengaruhi dalam
hal penyebaran dan pemahaman informasi. Maka yang terpenting adalah komunikasi
program antara pusat dan daerah.
Di Indonesia masih ada yang
menggunakan Metode pertanian tradisional yang efektif untuk melindungi
masyarakat dari dampak krisis global. Pertanian berbasis masyarakat dapat
digunakan sebagai sarana melawan pertanian industri yang merusak lingkungan. Pertanian
bukan sekadar bagaimana meningkatkan hasil, tetapi juga menjaga kualitas
lingkungan hidup. Keberlanjutan adalah premis pokoknya, bukan profit semata,
dan itu sudah dipraktikan turun-temurun oleh masyarakat petani kita.
Masyarakat adat Dayak, misalnya,
memiliki pengetahuan lokal tentang cara berladang yang menyelesaikan persoalan
lingkungan hidup yang justru diabaikan oleh kalkulasi ekonomi modern.
Masyarakat Banjar menemukan sistem pertanian sawah lestari dengan masukan
rendah menghasilkan delapan ton padi per hektar. Semua itu membuktikan
pengetahuan berbasis tradisi tidak berjalan di tempat.
Fenomena ini memberi kesan: sikap
hidup back to nature menjadi sebuah trend. Tetapi cukupkah itu? Bagaimana jika
lingkungan sekitarnya tidak mendukung? Modernisasi pertanian selama kurang
lebih tiga dasawarsa telah gagal mengangkat harga diri, martabat, dan
kesejahteraan petani, mayoritas penduduk Indonesia. Kini sudah saatnya
Pemerintah mengakui hak-hak petani, seperti kebebasan menjual beras atau
menyimpan gabah untuk benih.
Sudah saatnya sekarang ditegaskan,
bahwa petani diperbolehkan menanam padi jenis lokal. Sudah saatnya juga
dipikirkan insentif maupun kredit bagi petani yang bertani organik, bukan hanya
mempertahankan kredit usaha tani yang notabene lebih banyak untuk pembelian
pupuk dan racun hama, yang sekarang selain mahal harganya, juga sering terjadi
kelangkaan. Demikian juga, hendaknya petani diberi kebebasan menentukan pilihan
dan membentuk organisasi petani yang diperlukan untuk memperjuangkan
kepentingan petani.pertanian telah dirusak oleh sistem yang memaksa petani
menggunakan pupuk kimia dan pestisida yang telah ditentukan merknya. Kerugian
petani yang diakibatkan kerusakan tanah semakin diperparah oleh
kebijakan-kebijakan yang akhirnya memangkas kemerdekaan petani, misalnya dengan
keharusan penggunaan bibit padi.
Pertanian pedesaan saat ini masih
menghadapi tiga masalah besar, yaitu lemahnya modal sosial, kemiskinan dan
kerusakan sumberdaya pertanian yang semakin membesar. Visi Pembangunan
Pertanian 2025 yang sesuai adalah pertanian pedesaan yang berdaya saing tinggi,
berkeadilan dan berkelanjutan. Salah satu kebijakan pertanian yang penting
adalah kebijakan pemberdayaan sosio-budaya pedesaan. Oleh karena itu,
pembangunan pertanian 2025 membutuhkan kerangka kebijakan sosio-budaya yang
komprehensif.
Ada lima elemen sosio-budaya utama
yang harus dikembangkan, yaitu kompetensi SDM, kepemimpinan lokal, tata nilai,
keorganisasian dan manajemen, usaha tingkat desa dan struktur sosial berbasis
penguasaan sumberdaya agraria. Kerangka kebijakan sosio-budaya mengacu pada
kombinasi antara tingkat masyarakat dan jangka waktu di satu sisi, dan elemen
sosio-budaya yang ditransformasikan di sisi lain. Modal sosial seperti
penegakan sistem hukum pedesaan dan desentralisasi pemerintahan hingga tingkat
desa, harus dianggap sebagai kunci sukses pencapaian kesejahteraan masyarakat
pertanian pedesaan yang berkelanjutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar